PT Pertamina (Persero) membuat gebrakan melalui anak usahanya PT Pertamina Patra Niaga dengan membatasi pembelian BBM Pertalite dan Solar.
Pjs Corporate Secretary PT Pertamina Patra Niaga Sub Holding Commercial & Trading Pertamina Irto Ginting mengatakan pihaknya membuka proses pendaftaran untuk pembelian BBM jenis Pertalite dan Solar selama dua pekan mulai 1 Juli 2022.
Masyarakat bisa mendaftar lewat aplikasi digital dan website MyPertamina. Setelah itu, manajemen akan mengonfirmasi apakah kendaraan yang didaftarkan berhak untuk mendapatkan Pertalite atau Solar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jika sudah terkonfirmasi, pengguna akan mendapatkan QR code khusus yang menunjukkan bahwa data mereka cocok. Dengan demikian, pengguna bisa membeli Pertalite dan Solar.
Proses pendaftaran untuk membeli Pertalite dan Solar baru berlaku di lima provinsi, yakni Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Jawa Barat, dan Yogyakarta.
"Iya baru lima provinsi, tapi di masing-masing provinsi berlaku di 10-11 kota/kabupaten," kata Irto.
Irto mengatakan pihaknya belum akan membatasi pembelian Pertalite dan Solar dalam dua minggu ke depan atau selama proses pendaftaran.
Lihat Juga : |
Namun, Irto belum bisa memastikan apakah setelah dua minggu itu masyarakat yang tak mendaftar atau tak masuk kriteria nantinya dilarang membeli Pertalite dan Solar atau tidak.
"Nanti kami atur kemudian, kami melihat dulu progress nya. Tapi saya rasa tidak sampai pada tidak boleh isi (Pertalite dan Solar), mungkin ada batasan (untuk membeli Pertalite dan Solar). Tapi lihat progress dalam dua minggu," jelas Irto.
Program ini dilakukan seiring dengan revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran BBM yang sedang dilakukan pemerintah.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menilai apa yang dilakukan Pertamina berpotensi tak efektif dalam membatasi konsumsi Pertalite dan Solar. Pasalnya, pemerintah belum selesai merevisi Perpres Nomor 191 Tahun 2014.
Lihat Juga : |
"Yang menentukan siapa yang dapat dan tidak kan bukan domain Pertamina, tapi domain negara. Pertamina hanya menampung data, tapi ini boleh atau tidak kan negara," ungkap Komaidi.
Jika membedah lagi Perpres Nomor 191 Tahun 2014, pemerintah baru mengatur pengguna yang berhak membeli Solar bersubsidi.
Beberapa contoh yang berhak membeli Solar bersubsidi adalah kendaraan bermotor perseorangan di jalan untuk angkutan orang dengan plat nomor berwarna dasar hitam dan tulisan putih, serta semua jenis kendaraan untuk pelayanan umum seperti ambulance, mobil jenazah, mobil pemadam kebakaran, dan mobil pengangkut sampah.
Namun, belum ada aturan mengenai rincian pihak yang berhak membeli Pertalite. Dengan demikian, keputusan perseroan mengenai siapa yang boleh dan tidak membeli Pertalite akan menjadi 'abu-abu' jika tak ada landasan hukum yang jelas.
Bukan cuma soal itu, Komaidi juga khawatir Pertamina mengucurkan biaya cukup banyak untuk menerapkan sistem pendaftaran dalam pembelian Pertalite dan Solar. Pasalnya, perusahaan harus berkoordinasi dengan banyak pihak.
"Pertamina harus berkoordinasi dengan banyak pihak, misalnya pemerintah daerah (pemda), Kementerian Sosial (Kemensos), dan Badan Pusat Statistik (BPS) untuk data kemiskinan. Kalau melibatkan pihak di luar tupoksi biasanya ada tambahan biaya, misalnya rapat sama pemda, nah ada uang transportasi," papar Komaidi.
Risikonya, biaya yang dikucurkan Pertamina tak sebanding dengan penghematan yang sedang dilakukan perusahaan dalam menyalurkan Pertalite dan Solar. Belum lagi jika terjadi keruwetan di lapangan. Misalnya, banyak yang protes karena tak dianggap berhak membeli Pertalite.
"Saya khawatir kalau ada yang maksa bagaimana? Bocor juga ujung-ujungnya. Masyarakat ini kan ada yang bisa dibilangin, ada yang tidak bisa. Itu harus diantisipasi," katanya.