Pasokan bahan bakar Sri Lanka tinggal tersisa untuk kurang dari satu hari saja. Kondisi itu dipicu krisis ekonomi yang semakin parah di negara tersebut.
Mengutip Al-Jazeera, Selasa (5/7), Menteri Tenaga dan Energi Kanchana Wijesekera merinci cadangan bensin hanya tersisa sekitar 4.000 ton. Angka itu tepat di bawah konsumsi satu hari.
Padahal saat yang sama, antrian masyarakat di Kolombo untuk mendapatkan BBM masih mengular sepanjang beberapa kilometer. Ia mengatakan Sri Lanka kekurangan uang sehingga memperpanjang penutupan sekolah, karena tidak ada bahan bakar yang cukup untuk guru dan orang tua pergi ke sekolah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tak hanya itu, sebagian SPBU juga mengalami kekosongan bahan bakar selama berhari-hari.
Perdana Menteri Sri Lanka Ranil Wickremesinghe mengatakan kekurangan bensin akan berlangsung hingga 22 Juli ketika pengiriman minyak berikutnya diharapkan. Dia mengatakan pihaknya sudah membuat kesepakatan impor untuk empat bulan ke depan.
"Ini (kekurangan bahan bakar) adalah kemunduran besar bagi perekonomian dan telah menyebabkan banyak kesulitan bagi orang-orang. Ketika kami masuk, kekurangan dolar benar-benar berkontribusi pada situasi ini. Kami telah mengambil langkah sejak saat itu terutama untuk mendapatkan gas yang akan tersedia dalam beberapa hari ke depan, solar dan juga minyak tungku," katanya.
"Masalahnya adalah bensin, dan itu akan memakan sedikit waktu. Kami berharap untuk mendapatkan pengiriman bensin pada 22 Juli tetapi saya telah meminta menteri (yang bersangkutan) untuk mencoba mendapatkan pengiriman lebih awal," imbuhnya.
Sebelumnya, Sri Lanka tengah kesulitan uang untuk membayar impor BBM. Menteri Tenaga dan Energi Kanchana Wijesekera mengatakan sekarang pihaknya sedang berupaya mengumpulkan dana US$587 juta atau Rp8,7 triliun (asumsi kurs Rp14,968 per dolar AS) untuk membayar sekitar setengah lusin pengapalan impor BBM.
Pasalnya, bank sentral Sri Lanka hanya dapat memasok sekitar US$125 juta atau Rp1,87 triliun untuk membayar kebutuhan itu.
Masalah terjadi karena negara berpenduduk 22 juta orang ini tidak mampu membayar impor bahan makanan, pupuk, obat-obatan dan bahan bakar yang penting karena krisis dolar yang parah.