Inflasi Turki melonjak hingga mencapai 80 persen secara tahunan pada Juni kemarin. Lonjakan itu merupakan yang tertinggi dalam dua dekade terakhir.
Dilansir dari CNNBusiness, pada Selasa (5/7), harga konsumen negara itu naik 78,6 persen dibanding periode yang sama tahun lalu. Hal tersebut didorong oleh melonjaknya harga makanan, minuman, serta transportasi.
Menurut data dari Institut Statistik Turki, harga makanan di Turki melonjak hampir dua kali lipat dalam setahun. Sementara, biaya transportasi naik 123 persen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menteri Ekonomi Turki Nureddin Nebati mengatakan kenaikan harga komoditas global, terutama energi menjadi biang kerok tingginya inflasi Turki bulan lalu.
"Bertahannya kenaikan harga komoditas global yang tinggi, terutama dalam energi dan produk pertanian telah memicu inflasi Juni," kata dia.
Meski begitu, Nebati menuturkan pemerintah mengambil tindakan untuk melindungi masyarakat dari meroketnya harga-harga. Termasuk dengan mengurangi pajak penjualan dan memberikan subsidi.
Ekonomi Turki terdampak oleh ketidakpastian global seperti halnya negara-negara lain. Namun, kebijakan ekonomi yang tidak lazim dari Presiden Recep Tayyip Erdogan telah menimbulkan krisis.
Hal itu terlihat dari lira yang jatuh sehingga membuat biaya impor jauh lebih mahal.
Pada September 2021, Erdogan meminta Bank Setrak Turki untuk mulai memotong suku bunga acuan karena kenaikan harga alih-alih menaikkannya. Padahal, saat itu banyak bank sentral utama dunia meningkatkan biaya pinjaman untuk meredakan permintaan dalam upaya untuk menjinakkan inflasi.
Turki melakukan hal yang sebaliknya. Suku bunga acuan tetap di 14 persen sejak Desember 2022.
Erdogan membela kebijakan moneternya itu, dengan alasan bahwa menurunkan suku bunga akan menurunkan inflasi, meningkatkan produksi, serta ekspor. Ia malah menyalahkan masalah ekonomi negaranya pada campur tangan asing.
S&P Global Ratings mengatakan inflasi yang dikombinasikan dengan nilai lira Turki yang lemah akan terus membebani belanja konsumen. Lembaga tersebut memperkirakan inflasi tahunan akan tetap di atas 70 persen hingga akhir tahun, dan di atas 20 persen hingga setidaknya pertengahan 2023.
"Resesi di Rusia dan Ukraina, serta perlambatan pertumbuhan di zona euro dan Inggris akan membebani ekspor, yang telah menjadi pendorong pertumbuhan penting Turki hingga saat ini," tulis laporan S&P Global Ratings.
(mrh/agt)