Dunia saat ini tidak dalam keadaan baik-baik saja. Krisis ekonomi mengancam dan resesi membayangi banyak negara di dunia.
Meski Indonesia sudah pernah mengalami krisis pada 2008 dan 1998, tetapi kali ini kondisinya berbeda. Apalagi, krisis saat ini mengancam negara tanpa pandang bulu baik negara maju maupun berkembang.
Krisis kali ini dipicu selain karena pandemi covid-19, juga disebabkan oleh perang antara Rusia-Ukraina.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lihat Juga : |
Jadi, apa bedanya krisis pada 1998, 2008, corona dan perang Rusia-Ukraina?
1. Krisis 1998
Krisis pada 1998 dipicu karena permasalahan keuangan negara-negara di Asia. Saat itu, krisis ekonomi mengamuk di Asia sejak 1996.
Di Indonesia, rupiah ambruk. Nilai mata uang Garuda melonjak tajam dari Rp2.600 menjadi Rp16 ribu per dolar AS. Padahal, sepanjang 1990-1996, nilai tukar Rupiah berada di angka Rp1.901-Rp2.383 per dolar AS.
Tak hanya itu, ratusan perusahaan bangkrut dan harus memutus hubungan kerja pegawai-pegawainya. Harga-harga kebutuhan pokok pun meroket dengan cepat.
Lihat Juga : |
2. Krisis 2008
Tak jauh beda dengan krisis 1998, krisis ekonomi pada 2008 terjadi karena masalah keuangan global yang bermula di Amerika Serikat.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan risiko dari krisis keuangan 2008 silam lebih menyasar ke sektor keuangan dan korporasi.
"Kalau dulu kan melalui lembaga keuangan, korporasi jatuh, lalu pemutusan hubungan kerja (PHK) paling," kata Sri Mulyani.
Saat itu, untuk mengatasi krisis, pemerintah memberikan sejumlah insentif yang mencapai Rp73 triliun. Selain itu, pemerintah juga memberikan bantuan untuk kalangan pengusaha skala besar.
Lihat Juga : |
3. Krisis 2020/ Pandemi Covid-19
Berbeda dengan krisis 1998 dan 2008, krisis ekonomi yang terjadi akibat pandemi covid-19 rupanya lebih rumit.
Krisis pada 2020 lalu disebabkan oleh munculnya virus yang tidak hanya mengancam perekonomian, tapi juga jiwa manusia.
Sri Mulyani mengatakan krisis akibat pandemi covid-19 tidak hanya berdampak ke pengusaha besar, tetapi juga UMKM dan masyarakat. Sebab itu, pada 2020 pemerintah memberikan bantuan untuk kalangan pengusaha skala besar, dan juga diberikan untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), serta bantuan sosial (bansos).
4. Krisis akibat Perang Rusia-Ukraina
Sementara itu, krisis ekonomi yang terjadi saat ini dipicu oleh perang antara Rusia-Ukraina yang terjadi sejak pertengahan Maret 2022.
Akibat dari perang itu, krisis tak hanya menyasar keuangan melainkan juga menyasar ke pangan dan energi.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam setiap pidato nya juga mengungkapkan krisis yang dihadapi dunia saat ini begitu berat dan sulit. Ibarat kata, kondisi dunia saat ini sudah jatuh tertimpa tangga pula.
Pasalnya, di tengah dampak pandemi covid-19 ke banyak negara termasuk Indonesia belum usai, tiba-tiba muncul perang Rusia dan Ukraina. Perang kedua negara ini lah yang membuat terjadi berbagai krisis tersebut.
"Ada krisis karena pandemi, mau pulih ada perang, kemudian masuk merembet ke mana-mana. masuk ke krisis pangan, krisis energi, masuk ke krisis keuangan. Kalau kita semakin tahu semakin ngeri," kata Jokowi dalam Rakernas PDIP bulan lalu yang dikutip kembali, Selasa (12/7).
World Bank (Bank Dunia) bahkan memproyeksi negara-negara baik maju dan berkembang tak bisa menghindari keterpurukan ekonomi akibat krisis pangan, energi dan keuangan ini. Setidaknya dari rilis terakhir, diperkirakan ada 60 negara yang ekonominya diramal ambruk. Kondisi ini membuat banyak negara ketar-ketir.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani juga menjabarkan perbedaan krisis yang terjadi dan menimpa Indonesia dari masa ke masa ini.
"Satu hal yang berbeda pada krisis kali ini adalah pembatasan sosial. Itu salah satu shock (kejutan) besar karena tidak pernah terjadi sebelumnya, jadi kita harus memikirkan dua sampai tiga langkah ke depan," kata dia tahun lalu.
Lihat Juga : |
Sri Mulyani mengatakan krisis akibat perang Rusia dan Ukraina dilakukan dengan kebijakan yang berbeda, salah satunya penambahan subsidi untuk energi.
Tahun ini, Sri Mulyani bahkan menambah subsidi sebesar Rp275 triliun. Sehingga total subsidi energi tahun ini menjadi Rp502 triliun.
"Ini untuk membayar selisih yang harga minyak yang kita atur US$64 per barel dengan asumsi saat ini US$100 per barel. Jadi ada tambahan Rp324,5 triliun termasuk kompensasi. Tapi yang kita tambah di anggaran tahun ini Rp275 triliun," jelasnya.
Selain itu, krisis yang terjadi akibat perang Rusia-Ukraina ini membawa banyak negara mengalami lonjakan inflasi. Sebab, harga komoditas dunia juga naik.
Beberapa negara bahkan mencatatkan inflasi yang sangat tinggi. Contohnya, Inggris yang inflasinya tembus 9,1 persen di April 2022 dan menjadi yang tertinggi dalam 40 tahun terakhir. Lalu ada Amerika Serikat (AS) yang inflasinya tembus 8,6 persen di Mei 2022 dan menjadi tertinggi sejak Desember 1981 lalu.
Inflasi yang tinggi ini tak sejalan dengan laju pertumbuhan ekonominya, sehingga kebijakan bank sentral masing-masing jadi lebih ketat. Bahkan kenaikan suku bunga yang dilakukan di luar kebiasaan.
"Jadi memang saat ini dunia tidak sedang baik-baik saja," pungkas Sri Mulyani.
(idy/dzu)