Sementara itu, Pengamat Pasar Modal Riska Afriani memproyeksikan selama sepekan ke depan, IHSG bergerak di rentang support 6.580 dan resistance 6.710.
Ia memperkirakan tekanan jual masih cukup tinggi setelah tren penurunan pekan lalu. Meski begitu, ia mengatakan masih ada kemungkinan indeks dapat melambung kembali pekan ini.
"Dalam satu bulan terakhir kita sudah turun 4,11 persen, saya melihat nanti ada technical rebound. Nah, technical rebound ini nanti akan berpotensi menguji level resistance di 6.710," kata Riska.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Senada dengan Herditya, Riska menyebut sentimen global yang akan mempengaruhi pergerakan indeks adalah kekhawatiran investor terhadap inflasi AS yang mencapai 9 persen.
Hal ini dapat memicu the Fed untuk menaikkan suku bunga lagi yang kemudian membuat investor asing melakukan penjualan saham dalam volume tinggi atau panic selling.
"Karena hal tersebut memberikan kekhawatiran terhadap pelaku pasar atas kembali meningkatnya suku bunga the Fed, jadi korelasinya kenaikan suku bunga the Fed membuat net sell asing pada IHSG kita meningkat," ujarnya.
Terkait sentimen dalam negeri, ia menilai meningkatnya angka kasus covid-19 akan menyita perhatian pasar. Namun, sentimen tersebut hanya bersifat jangka pendek.
"Sekarang (kasus) covid sedang mulai meningkat lagi dan itu memang menjadi perhatian pasar juga, tapi saya bisa sampaikan juga bahwa sebenarnya peningkatan dari (kasus) covid-19 ini hanya menjadi sebagian kecil yang menjadi perhatian pelaku pasar," ujar Riska.
Dalam keadaan seperti itu, ia mengatakan investor sebaiknya menunggu dan mencermati pergerakan indeks terlebih dahulu karena ada potensi penurunan lanjutan. Tapi investor juga bisa melakukan akumulasi beli secara perlahan untuk saham dari beberapa sektor tertentu.
Pertama, ia merekomendasikan saham dari sektor industri dasar, khususnya farmasi. Karena peningkatan kasus covid-19 biasa diiringi dengan penguatan pada emiten sektor farmasi.
Kemudian, ia menyarankan investor mengoleksi saham dari sektor perbankan yang sedang turun harga. Sehingga, sekarang merupakan saat yang tepat untuk investor melakukan akumulasi beli atau buy on weakness (BoW) untuk saham-saham perbankan pilihan.
"Perbankan memang salah satu sektor yang menarik karena penurunannya juga sudah cukup signifikan dan kita lihat saat ini masyarakat itu roda perekonomian kita juga berjalan dengan baik," kata Riska.
Lalu, Riska menilai sektor pertambangan masih menjadi katalis positif dengan harga energi yang cenderung meningkat. Ada pula sektor properti yang sudah berangsur pulih setelah jatuh saat pandemi. Hal ini tercermin dari penjualan yang meningkat oleh sejumlah emiten properti di kuartal I 2022.
"Kita juga bisa lihat dari kinerja yang disampaikan perseroan melalui laporan keuangan bahwa sudah (kinerja sektor ini) terlihat membaik dan mereka cukup optimis di 2022 ini mereka akan kembali mencatat peningkatan yang signifikan," ujar Riska.
Namun, ia tidak merekomendasikan emiten spesifik untuk sektor properti, hanyalah investor dapat memilih sendiri saham dari perusahaan properti yang mereka minati.
Sejumlah saham yang direkomendasikan untuk dikoleksi mencakup PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau BBRI yang ditutup menguat 1,23 persen ke posisi 4.110 pada pekan lalu.
Kemudian, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk atau BBNI, meskipun ditutup stagnan pada posisi 7.275 di pekan sebelumnya.
Lalu, ia merekomendasikan emiten sektor pertambangan yakni PT Bukit Asam Tbk atau PTBA yang ditutup melemah 2,96 persen ke posisi 3.940 dan PT Adaro Energy Indonesia Tbk atau ADRO yang ditutup melemah 5,80 persen ke posisi 2.760.
Dari sektor farmasi, Riska merekomendasikan PT Kalbe Farma Tbk atau KLBF yang ditutup melemah 2,33 persen ke posisi 1.680. Terakhir, PT Kimia Farma Tbk atau KAEF yang ditutup menguat 2,08 persen ke posisi 1.470.