Greenpeace Prediksi Krisis Percepat Transisi ke Energi Terbarukan

CNN Indonesia
Rabu, 20 Jul 2022 10:45 WIB
Greenpeace Indonesia memperkirakan krisis energi belakangan ini mempercepat transisi energi dari fosil ke terbarukan. Ilustrasi batu bara. (ANTARA FOTO/NOVA WAHYUDI).
Jakarta, CNN Indonesia --

Greenpeace Indonesia memperkirakan krisis energi yang terjadi di dunia belakangan ini mempercepat transisi energi dari fosil menuju terbarukan, khususnya pada negara berkembang.

Perkiraan mereka dasarkan pada harga energi batu bara atau fosil yang kian melonjak akibat krisis. Lonjakan harga membuat negara berkembang akan kalah saing dengan negara maju dalam mendapatkan energi fosil.

Sebagai gantinya, mereka akan berlomba mencari energi alternatif guna memenuhi kebutuhan.

"Harga energi fosil yang mahal dan langka ini bisa menjadi keseimbangan baru ke depannya. Karena energi fosilnya akan habis, langka dan mahal, negara-negara akan berebutan. Negara-negara berkembang tentu akan kalah dalam kompetisi mendapatkan bahan bakar fosil ini.  Ini yang semakin menguatkan kebutuhan kita terhadap akselerasi transisi energi," kata Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Tata Mustaya pada acara webinar bertajuk Quo Vadis Komitmen Transisi Energi di G20? Refleksi Atas Hasil KTT G7 di Jerman, Selasa (19/7).

Untuk mengantisipasi potensi itu, ia mengatakan dalam jangka pendek, pengelolaan energi transisi harus menjadi kunci utama untuk mengatasi krisis. Dengan semakin meningkatnya harga batu bara di pasaran, negara yang memproduksinya pun harus mulai memikirkan alternatif lain untuk ketahanan energi.

"Untuk kita yang memproduksi pun ini menjadi persoalan ketika ingin mendapatkan batu bara. Dan ke depan, permasalahan ini akan semakin menjadi keseimbangan baru," imbuh Tata.

Ia mengakui masih ada kekhawatiran sejumlah negara maju akan beralih kembali ke batu bara yang salah satunya terlihat dari Jerman yang mengimpor komoditas itu dari Indonesia menjelang musim dingin. Tapi Tata menganggap kejadian tersebut terjadi akibat kondisi darurat yang memaksa negara maju untuk berpaling sementara waktu ke energi kotor.

Karenanya, ia tidak memandang hal tersebut sebagai kemunduran. Ia justru melihat kecenderungan itu sebagai 'kado perpisahan' yang menjadi terakhir kalinya mereka mengimpor batu bara.

"Yang harus digarisbawahi bahwa itu emergency, ini sebuah hal buruk dan saya kira harus diakui. Negara maju tidak akan investasi di sini. Ini perpisahan dari mereka yang sudah lama menggunakan batu bara sebagai sesuatu yang toksik," tegasnya.

Selain itu, ia mengingatkan aspek sosial-ekonomi dalam transisi energi perlu diperhatikan juga agar kelompok masyarakat yang bermata pencaharian di sektor pertambangan, khususnya rentan kemiskinan, tidak ikut terdampak.

"Sebetulnya, dalam jangka pendek ini mengingatkan kita juga bahwa krisis energi ini membutuhkan pengelolaan yang baik, proses transisinya sehingga tidak berdampak secara sosial ekonomi terhadap kelompok berpendapatan rendah," kata Tata.

Managing Director 350.org Asia Sisilia Nurmala Dewi pun setuju dengan hal ini. Ia mengatakan serikat pekerja perlu dilibatkan dalam diskusi mengenai transisi energi supaya bisa mencapai solusi yang adil bagi lingkungan dan juga pekerja di sektor batu bara.

"Saya kira kita perlu terhubung dengan teman-teman buruh yang bergerak di isu buruh. Karena buat mereka yang penting pekerjanya terlindungi, tapi buat kita kan ada beberapa catatan yang lebih dari itu," sebut Sisilia.

(tdh/agt)
KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK