Gobel: Hidup Masyarakat Lapisan Bawah Semakin Berat

CNN Indonesia
Rabu, 20 Jul 2022 17:13 WIB
Wakil Ketua DPR Rachmat Gobel memprediksi lonjakan inflasi yang terjadi belakangan ini akan membuat biaya hidup masyarakat Indonesia naik. ( CNN Indonesia/Adhi Wicaksono).
Jakarta, CNN Indonesia --

Wakil Ketua DPR RI Bidang Kordinasi Industri dan Pembangunan Rachmat Gobel mengingatkan beban biaya hidup masyarakat di Indonesia akan terus meningkat seiring melonjaknya inflasi belakangan ini.

Gobel menjelaskan inflasi sudah tembus 3,91 persen sejak Januari-Juni 2022. Angka itu bahkan sudah lebih tinggi dibandingkan laju inflasi sepanjang 2021 yang hanya 1,87 persen.

Inflasi tertinggi terjadi pada sektor pengeluaran makanan dan minuman yang mencapai 6,23 persen. Diikuti transportasi 3,92 persen, peralatan dan pemeliharaan rumah tangga 3,41 persen, serta perawatan pribadi dan jasa lain 3,64 persen.

"Angka itu memberi gambaran beban biaya hidup yang ditanggung masyarakat sepanjang 2022 mengalami peningkatan yang sangat signifikan dibandingkan tahun lalu. Bagi masyarakat lapisan bawah dan para pekerja, kondisi saat ini sangat berat karena tingkat upah hanya naik rata-rata 1 persen," ungkap Gobel dalam keterangan resmi, Rabu (20/7).

Sementara, ancaman resesi sedang mengintai banyak negara tanpa terkecuali Indonesia. Jika RI kembali masuk ke jurang resesi, maka kesenjangan sosial dan ekonomi akan semakin lebar.

Apalagi, kata Gobel, jika tidak diiringi dengan strategi yang efektif untuk mengangkat kelompok berpenghasilan rendah seperti UMKM yang menyerap 97 persen tenaga kerja di dalam negeri.

"Untuk itu, realisasi insentif bagi UMKM harus lebih diperbesar dan dipercepat," imbuhnya.

Selain itu, Gobel mengingatkan pemerintah untuk menjaga industri lokal dengan membatasi impor. Menurut dia, pemerintah bisa menggunakan belanja APBN atau APBD untuk menyerap produk lokal.

"Jangan seperti sebelumnya, program refocusing malah jebol untuk belanja impor. Ini sama saja duit kita untuk membiayai negara lain dan menyejahterakan buruh negara lain," kata Gobel.

Jika impor berhasil ditekan, maka industri dalam negeri akan semakin maju. Dengan demikian, penyerapan tenaga kerja akan semakin banyak dan kesejahteraan masyarakat terjaga.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan potensi resesi Indonesia sebesar 3 persen. Hal ini berdasarkan survei yang dilakukan Bloomberg.

"Kita (Indonesia) relatif dalam situasi yang tadi disebutkan risiko (potensi resesi) 3 persen," ungkap Sri Mulyani.

Hal itu katanya, berbeda dengan negara lain yang potensinya lebih dari 70 persen. Meski begitu, bukan berarti pemerintah terlena.

"Kami tetap waspada namun pesannya kami tetap akan menggunakan semua instrumen kebijakan, dari fiskal, moneter, sektor finansial, dan regulasi lain untuk memonitor itu (potensi resesi)," ujar Sri Mulyani.

Meski ada risiko, bendahara negara menilai ekonomi Indonesia masih cukup positif. Sebab, sektor keuangan RI lebih kokoh setelah kejadian krisis 2008-2009 lalu.

"Hal yang baik adalah semenjak krisis 2008-2009 krisis global, sektor keuangan kita relatif lebih prudent, sehingga mereka tangguh, NPL juga terjaga," papar Sri Mulyani.

Selain itu, Sri Mulyani mengatakan utang luar negeri pemerintah menurun. Begitu juga dengan utang korporasi yang semakin rendah.

"Artinya harus belajar dari krisis global 2008-2009, sektor korporasi, finansial, APBN, moneter, semuanya mencoba memperkuat diri sendiri pada saat hadapi risiko sekarang ini. Kita dalam situasi daya tahan masih lebih baik, makanya disebut rating lebih kecil," beber Sri Mulyani.

Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), utang luar negeri RI sebesar US$415 miliar pada akhir Mei 2022. Angka itu turun 4,9 persen dibandingkan dengan bulan sebelumnya.

Menurutnya, inflasi menjadi salah satu faktor yang memicu resesi di sejumlah negara. Hal ini seiring dengan kebijakan kenaikan suku bunga acuan di beberapa bank sentral dunia.

"Pengetatan kebijakan moneter dalam bentuk kenaikan suku bunga dan likuiditas dan ini juga bisa menciptakan konsekuensi dalam bentuk resesi," terang Sri Mulyani.

Selain itu, perang Rusia-Ukraina, kenaikan harga BBM hingga pangan juga membuat inflasi melonjak di sejumlah negara.

Ia mencontohkan inflasi AS tembus 8,6 persen pada Mei 2022. Begitu juga Inggris yang mencatatkan inflasi lebih dari 9 persen.

"Di Eropa, waktu itu bicara tentang selalu deflasi sekarang sudah di atas 6 persen. Jepang juga biasanya deflasi, sekarang inflasi. Jadi kita tidak meremehkan ancaman inflasi itu," tutup Sri Mulyani.

(aud/agt)
KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK