Baru 6.806 Debt Collector Tersertifikasi, AFPI Percepat Pelatihan

CNN Indonesia
Kamis, 28 Jul 2022 17:17 WIB
Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) mencatat baru 6.806 tenaga penagih sudah mendapatkan sertifikasi. Ilustrasi. (CNN Indonesia/ Safir Makki).
Jakarta, CNN Indonesia --

Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) mempercepat program pelatihan dan sertifikasi bagi para tenaga penagihan atau debt collector. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan perlindungan konsumen.

Ketua Bidang Edukasi, Literasi & Riset AFPI Entjik S Djafar mengatakan saat ini baru 6.806 tenaga penagih sudah mendapatkan sertifikasi.

Ia menyebut sertifikasi juga bertujuan untuk membangun industri fintech pendanaan yang andal dan sehat dalam mendukung akselerasi peningkatan inklusi keuangan.

Pelatihan dan sertifikasi ini juga diberikan kepada komisaris, direksi, pemegang saham, customer services, dan posisi lainnya di dalam penyelenggara fintech P2P lending (fintech pendanaan).

"Kami yakin pendidikan, pelatihan dan pembekalan ini akan berdampak terhadap perilaku industri fintech pendanaan. Untuk itu, AFPI meningkatkan frekuensi pelatihan dari sebelumnya hanya satu sampai dua kali per bulan menjadi tiga kali per bulan hingga akhir bulan ini," kata Entjik dalam pernyataan resminya, Kamis (28/7).

Para agen atau tenaga penagihan diberikan pelatihan terkait Standard Operating Procedure (SOP) penagihan yang sejalan dengan Pedoman Perilaku AFPI. Adapun SOP yang dimaksud, yakni tidak diperbolehkan menggunakan kekerasan fisik maupun mental dalam melakukan komunikasi dengan peminjam dan larangan penyebarluasan data pribadi.

Entjik menjelaskan seluruh penyelenggara fintech pendanaan legal atau anggota AFPI hanya boleh mengakses data peminjam berupa CAMILAN (camera, mikrofon, dan location). Jika ada yang melebihi akses CAMILAN, berarti itu pinjol ilegal.

Ia pun menargetkan setidaknya ada 75 persen tenaga penagihan sudah harus mengikuti pelatihan dan tersertifikasi. Pelatihan berlaku untuk tenaga penagih yang berasal dari perusahaan fintech pendanaan maupun yang disediakan pihak ketiga penyedia jasa penagihan.

Menurutnya, langkah ini adalah salah satu upaya asosiasi dalam menjawab keresahan masyarakat mengenai penagih pinjaman yang tidak beretika.

Sejak 2019 hingga akhir Juli 2022, AFPI telah memberikan sertifikasi kepada 9.714 peserta dari 70 batch.

Jumlah tersebut terdiri desk collection atau tenaga penagihan sebanyak 6.806 peserta dan yang terkait regulasi umum sebanyak 1.444 peserta.

Lembaga Sertifikasi

Sementara itu, Sekretaris Jenderal AFPI Sunu Widyatmoko mengatakan pihaknya tengah dalam proses pendirian Lembaga Sertifikasi Profesi. Lembaga itu memiliki kurikulum yang teruji bagi para tenaga penagihan.

Sertifikasi ini juga telah diatur dalam peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No.10/2022 tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI) Pasal 16 perihal Sertifikasi.

Oleh karena itu, penagihan harus dilakukan oleh tenaga penagihan yang sudah tersertifikasi oleh AFPI. Hal ini berlaku untuk karyawan dari para anggota yang merupakan penyelenggara fintech pendanaan, maupun karyawan pihak ketiga yang ditunjuk anggota AFPI sebagai penyedia jasa penagihan.

Adapun untuk penagihan yang dilakukan oleh pihak ketiga atau perusahaan penyedia jasa penagihan, maka pihak ketiga tersebut harus terdaftar sebagai anggota AFPI.

"Sertifikasi dilakukan untuk semakin mendorong efisiensi pertumbuhan di industri ini. AFPI akan terus tingkatkan rangkaian sertifikasi, baik dari agen-agen penagihan maupun dalam dari vendor sebagai pihak ketiga yakni perusahaan jasa penagihan," ujar Sunu.

Ia mengatakan saat ini AFPI memiliki 102 anggota dan telah menyalurkan agregat pinjaman senilai Rp380,18 triliun per Mei 2022, dengan 83,15 juta peminjam dan 888 ribu pemberi pinjaman. Adapun tingkat keberhasilan pengembalian pinjaman (TKB) 90 hari sebesar 97,72 persen per Mei 2022.

Sunu menambahkan AFPI senantiasa mengingatkan anggotanya untuk melakukan etika penagihan yang benar.

"Etika-etika ini harus dipatuhi oleh anggota AFPI, dan ini yang membedakan fintech pendanaan yang legal dengan pinjaman online (pinjol) illegal," kata dia.



 

(mrh/sfr)
KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK