Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Panjaitan mengklaim jumlah utang Pemerintah Indonesia merupakan yang terkecil di dunia.
"Pemerintah Indonesia hanya punya utang Rp7.000 triliun dan paling terkecil di dunia," ungkap Luhut, dikutip dari Antara, Selasa (9/8).
Ia juga menekankan utang itu digunakan untuk kegiatan produktif. Salah satunya pembangunan jalan tol.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pemerintah, kata Luhut, juga tak bodoh atau sembarangan dalam menggunakan utang. Semua pembangunan telah dihitung dengan benar, termasuk return on investment-nya.
Sebagai contoh, pembangunan Jalan Tol Serang-Panimbang sepanjang 85 km. Luhut menjamin bahwa pembangunan itu akan meningkatkan ekonomi masyarakat Banten.
Dengan kata lain, ada dampak positif yang dihasilkan dari penggunaan utang tersebut.
Tak hanya itu, Luhut mengklaim rasio utang RI terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) hanya 40 persen. Angka itu jauh lebih rendah dibandingkan rasio utang di negara-negara maju yang tembus 100 persen terhadap PDB.
Sementara itu, jika dilihat dalam laporan APBN KITA edisi Juli 2022, total utang Pemerintah Indonesia tembus Rp7.123 triliun per Juni 2022. Angka itu naik 8,68 persen jika dibandingkan dengan Juni 2021 yang sebesar Rp6.554 triliun.
Meski begitu, rasio utang RI terhadap PDB justru turun dari 41,35 persen pada Juni 2021 menjadi 39,56 persen.
Rasio utang RI bisa dibilang masih aman karena berada di bawah batas maksimal sebesar 60 persen terhadap PDB. Aturan mengenai batas maksimal rasio utang RI tertuang dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Mayoritas utang RI berasal dari Surat Berharga Negara (SBN) sebesar 88,46 persen atau Rp6.301 triliun dan sisanya 11,54 persen atau Rp821,74 triliun berupa pinjaman.
Lebih rinci, SBN yang diterbitkan dengan denominasi rupiah sebesar Rp4.992 triliun dan valas Rp1.309 triliun. Lalu, pinjaman dari dalam negeri tercatat sebesar Rp14,74 triliun dan luar negeri Rp806,31 triliun.
"Penambahan utang sebagian besar terjadi sejak 2020 karena ada badai covid-19. Covid-19 menimbulkan krisis kesehatan, krisis sosial, dan krisis kemanusiaan. Untuk itu, pemerintah meluncurkan PEN sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah untuk masyarakat," papar Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dalam laporan APBN KITA edisi Juli 2022.
Mengutip laman resmi Kemenkeu, pemerintah menjelaskan utang dibutuhkan untuk mengejar ketertinggalan pembangunan infrastruktur dan menyelesaikan masalah konektivitas di dalam negeri.
Sebab, ketertinggalan infrastruktur dan masalah konektivitas membuat biaya ekonomi yang harus ditanggung masyarakat menjadi mahal. Hal itu juga membuat daya saing nasional rendah.
Pada saat yang sama, pemerintah juga mengambil kebijakan fiskal yang ekspansif. Artinya, belanja negara lebih besar dibandingkan penerimaan. Kebijakan itu dilakukan demi mendorong pertumbuhan ekonomi.
"Namun demikian, pendapatan negara belum cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan tersebut sehingga menimbulkan defisit yang harus ditutupi melalui pembiayaan atau utang. Utang tersebut aman karena digunakan untuk belanja produktif," tulis Kemenkeu.
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan Luky Alfirman menjelaskan utang bisa digunakan untuk pembiayaan APBN secara umum, mulai dari infrastruktur dan investasi.
"Pembiayaan utang Indonesia utamanya bersifat sebagai general financing, artinya digunakan untuk pembiayaan APBN secara umum," tutur Luky.
Ia mengatakan utang dibutuhkan karena kebutuhan belanja pemerintah lebih besar dibandingkan dengan penerimaan. Belanja itu khususnya diperlukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Tak hanya itu, pemerintah menargetkan belanja yang cukup besar demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat, peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan, mengurangi pengangguran, mengurangi kesenjangan, dan mengurangi kemiskinan.
"Dalam tiga tahun anggaran terakhir, terlihat nyata tingginya kebutuhan pembiayaan untuk penanganan dampak covid-19 dan mendorong percepatan pemulihan ekonomi nasional," jelas Luky.
Lihat Juga : |
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan utang RI memang masih sehat jika dilihat dari rasio terhadap PDB. Sebab, masih di bawah 60 persen.
Namun, ia menilai utang RI tetap mengkhawatirkan karena dampak dari penggunaan utang masih minim. Hal itu terlihat dari persentase kenaikan utang yang lebih tinggi daripada pertumbuhan ekonomi per Juni 2022.
Jumlah utang RI naik 8,68 persen dari Rp6.554 triliun pada Juni 2021 menjadi Rp7.123 triliun per Juni 2022. Sementara, pertumbuhan ekonomi RI cuma naik 5,44 persen pada kuartal II 2022.
"Kalau dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi, utang negara mengkhawatirkan karena pertumbuhan utang lebih tinggi daripada pertumbuhan ekonomi," ujar Tauhid.
Jika pertumbuhan ekonomi jauh lebih tinggi dibandingkan kenaikan utang, berarti belum ada dampak yang dirasakan masyarakat.
"Jadi sederhana saja, pertumbuhan ekonomi lebih tinggi daripada kenaikan utang ya bagus, kalau sebaliknya ya jelek," jelas Tauhid.
Menurut Tauhid, pemerintah memang tak pernah blak-blakan secara rinci tentang penggunaan utang ke publik. Menurut dia, utang belum sepenuhnya digunakan untuk kegiatan produktif.
"Utang kita digunakan untuk cash management, kalau penerimaan pajak belum masuk ya utang untuk belanja barang, belanja pegawai. Sisanya untuk apa saja, misalnya infrastruktur," terang Tauhid.
Ia mengingatkan agar pemerintah mengurangi penggunaan utang yang tak produktif, seperti belanja barang atau gaji pegawai. Sebab, tak akan berdampak untuk pertumbuhan ekonomi nasional.
"Kalau untuk belanja barang, belanja pegawai kan tidak ada hasilnya. Kalau infrastruktur kan multiplier effect ke ekonomi kan tinggi," ujar Tauhid.
Tak sependapat, Ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal Hastiadi mengatakan dampak penggunaan utang tak bisa begitu saja dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi di periode yang sama. Sebab, sebagian utang digunakan untuk pembangunan infrastruktur.
Dampak dari pembangunan infrastruktur itu tak bisa dirasakan dalam waktu bulanan atau jangka pendek. Minimal, Fithra menyebut, dampaknya baru terasa dua sampai tiga tahun setelah infrastruktur itu beroperasi.
"Jadi tidak bisa membandingkan pertumbuhan utang dengan pertumbuhan ekonomi dengan tahun tertentu. Belanja infrastruktur dampaknya bisa terlihat dua sampai tiga tahun selanjutnya," kata Fithra.