Ia mengatakan utang RI memang naik setiap tahun, terlebih sejak pandemi atau 2020 lalu. Saat itu, kegiatan ekonomi mandek, sehingga penerimaan negara juga menipis.
Utang dibutuhkan agar pemerintah tetap bisa melakukan belanja barang, modal, pegawai, dan meneruskan pembangunan infrastruktur.
"Tujuannya demi menyelamatkan perekonomian karena tahun-tahun itu justru kontribusi positif terhadap ekonomi dari belanja pemerintah," ucap Fithra.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Fithra menjelaskan sebagian utang juga digunakan untuk penyaluran bantuan sosial (bansos). Saat itu, bansos sangat dibutuhkan masyarakat kelas menengah bawah untuk bertahan hidup.
"Jadi belanja pemerintah itu menahan gejolak ekonomi. Menopangnya dengan pemberian stimulus, stimulus fiskal dibiayai oleh utang karena penerimaan negara juga turun," sambung Fithra.
Kendati demikian, ia mengingatkan pemerintah untuk mengurangi rasio utang di bawah 30 persen demi menjaga keuangan negara tetap sehat dalam jangka panjang.
Di sisi lain, Direktur Center of Economic and Law Studies Celios Bhima Yudhistira khawatir pemerintah akan membayar bunga utang lebih mahal ke depannya. Sebab, mayoritas utang RI berasal dari SBN.
"Di mana bunga yang berlaku adalah bunga pasar yang lebih mahal dibandingkan bunga pinjaman bilateral atau multilateral," ujar Bhima.
Selain itu, penguatan dolar AS juga akan membuat pembayaran bunga utang berdenominasi valas akan naik. Sementara, sebagian besar penerimaan negara berasal dari kurs lokal.
"Ini akan membuat Indonesia harus membayar lebih mahal bunga utang ke depannya," kata Bhima.
Ia pun sangsi mayoritas utang digunakan untuk pembangunan infrastruktur. Pasalnya, porsi belanja pemerintah paling banyak masih berupa belanja pegawai, belanja barang, dan belanja pembayaran bunga utang.
"Belanja modal masih tertinggal di urutan belakang. Lagi pula kalau sekadar membanggakan utang untuk oli pembangunan ya kurang kreatif," jelas Bhima.
Berdasarkan data APBN, belanja pegawai tercatat sebesar Rp121,9 triliun, belanja barang sebesar Rp142,9 triliun, dan belanja modal hanya Rp56,8 triliun pada semester I 2022.