Ekonom Sebut Resesi Ekonomi AS Masih Mentah

CNN Indonesia
Selasa, 16 Agu 2022 21:12 WIB
Ekonom mematahkan perkiraan berbagai lembaga yang mengatakan bahwa AS masuk ke jurang resesi pada kuartal II tahun ini. Ilustrasi. (AFP/William West).
Jakarta, CNN Indonesia --

Ekonom mematahkan perkiraan berbagai lembaga yang mengatakan bahwa Amerika Serikat (AS) masuk ke jurang resesi pada kuartal II tahun ini.

Kepala Ekonom Moody's Analytics Mark Zandi mengatakan anggapan tersebut masih terlalu dini, meskipun secara teknis terjadi resesi karena kuartal I dan II pertumbuhan ekonominya negatif.

Pasalnya, saat ini sejumlah indikator perekonomian AS sudah menunjukkan perbaikan dalam 10 hari terakhir. Sehingga, perekonomian AS dinilai lebih tepat dikatakan melambat.

"Ini bukan resesi. Bahkan mendekati zona resesi pun tidak. Benar-benar salah untuk mengatakannya," ujarnya kepada CNN.com, Senin (16/8).

Beberapa indikator perekonomian yang mengalami perbaikan adalah:

Pengangguran Turun

Pada Juli 2022, AS berhasil menambah sebanyak 528 ribu pekerjaan baru, sehingga tingkat pengangguran turun menjadi 3,5 persen, terendah sejak 1969 silam.

Selain itu, gaji yang diperoleh pekerja pun sudah kembali ke masa normal sebelum terjadi pandemi covid-19.

Inflasi Melandai

Inflasi AS tercatat menjadi 8,5 persen pada Juli atau turun dari posisi Juni sebesar 9,1 persen. Inflasi yang turun ditopang oleh penurunan sejumlah harga di AS.

Harga bensin turun US$1, setelah mencapai rekor tertinggi US$5,01 per galon (sekitar 3,7 liter) pada pertengahan Juni.

Kemudian, ada juga penurunan harga bahan bakar pesawat atau avtur, hingga harga berbagai bahan pokok yang kembali melandai.

Dengan indikator yang membaik ini, Zandi menilai pertumbuhan ekonomi AS yang dirilis negatif pada kuartal II akan direvisi dan berubah menjadi positif.

Meski demikian, ia menekankan tidak berarti ekonomi AS sudah sehat. Sebab, meski inflasi turun, namun angkanya masih terlalu tinggi, sehingga risiko resesi masih terbuka lebar di tahun berikutnya.

"Resesi tetap menjadi risiko nyata, terutama tahun depan dan pada 2024 karena ekonomi menyerap dampak dari kenaikan suku bunga Federal Reserve (The Fed)," pungkasnya.



(ldy/bir)


KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK