Khudori
Khudori
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), anggota Pokja Dewan Ketahanan Pangan (2010-2020), dan peminat masalah sosial-ekonomi pertanian dan globalisasi. Telah menghasilkan lebih 1000 artikel/paper, menulis 6 buku, dan mengeditori 12 buku. Salah satu bukunya berjudul ”Ironi Negeri Beras” (Yogyakarta: Insist Press, 2008).
KOLOM

Ujian Sorgum dan Indonesia yang Dikepung Terigu

Khudori | CNN Indonesia
Rabu, 31 Agu 2022 18:26 WIB
Pangan lokal Indonesia seperti sorgum selalu dilirik ketika situasi sulit. Namun, dalam kondisi normal ia dianggap tak ada.
Sorgum adalah tanaman sumber pangan dan pakan ternak sebagai pengganti gandum. (CNN Indonesia/Christine Nababan)
Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia --

Pemerintah, seperti dituturkan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, tengah menyusun peta jalan peningkatan produksi dan hilirisasi sorgum.

Komoditas ini digadang-gadang bisa jadi pengganti gandum, yang sejak awal 2022 harganya makin menanjak dan bahkan pasokannya tersendat, sejak Rusia menginvasi Ukraina, 24 Februari 2022.

Rusia dan Ukraina memasok 34,1% kebutuhan gandum dunia. Puluhan negara, salah satunya Indonesia, kelimpungan mencari negara pengganti kala pasokan seret.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sorgum atau pangan lokal lain memang memiliki peluang besar ditengok kala krisis atau resesi. Inilah nasib pangan lokal di negeri ini. Eksistensinya terasa kala situasi sulit. Ketika kondisi normal, ia dianggap tidak ada.

Ini tidak hanya menimpa sorgum, tapi juga ubi jalar, sukun, gembili, talas, dan banyak lainnya.

Pangan Lokal Tersudut

Di masa lalu, aneka tanaman seperti ubi jalar dan talas jadi penopang penting ketahanan pangan warga di berbagai daerah. Dengan meleluri pangan lokal, mereka berdaulat pangan dan terbebas dari kelaparan.

Betapa pangan lokal semakin tersudut bisa dilihat dari tingkat konsumsi perkapita dan tingkat partisipasi konsumsi warga. Singkong, ubi jalar, dan sagu misalnya, masing-masing tingkat konsumsi perkapita per tahun sebesar 6,5 kg, 3,6 kg, dan 0,5 kg pada 2015 menjadi 8,6 kg, 3,2 kg, dan 0,3 kg pada 2020 -- hanya konsumsi singkong yang naik.

Sementara tingkat partisipasi konsumsi singkong, ubi jalar, dan sagu masing-masing sebesar 18,57%, 11,96%, dan 2,31% pada 2015 jadi 25,07%, 12,75%, dan 2,01% pada 2020. Tingkat partisipasi konsumsi singkong dan ubi jalar naik, sedangkan sagu turun.

Kondisi sebaliknya terjadi pada gandum impor yang diolah menjadi tepung terigu. Saat pangan lokal dibelit aneka masalah dan eksistensinya tergusur, pangan introduksi berbasis terigu justru semakin perkasa. Tingkat partisipasi konsumsi terigu warga mencapai 28,66% pada 2015, naik menjadi 36,48% pada 2020.

Pada 1987 konsumsi terigu per kapita per tahun warga masih 1,05 kg, naik jadi 2,64 kg pada 1996, dan meledak menjadi 17,1 kg pada 2020. Jadi, hanya dalam 33 tahun konsumsi terigu meledak 16 kali lipat.

Di Indonesia, tidak ada jenis pangan lain yang mengalami ledakan sebesar konsumsi terigu.

Konsekuensinya, impor gandum meledak tak ketulungan. Dari hanya 1,8 juta ton pada 1987, menjadi 11,69 juta ton pada 2021 (naik 6,5 kali lipat) senilai Rp54 triliun. Tak sedikit devisa yang melayang setiap tahunnya.

Seiring terigu yang kian perkasa, struktur diet makan warga pun berubah: gandum menempati posisi kedua setelah beras, menyalip singkong, jagung, dan pangan lokal lain.

Penetrasi pasar yang masif lewat iklan terus menerus dan purwarupa produk inovatif membidik semua kalangan dan seluruh segmen ekonomi, aneka pangan berbasis terigu jauh lebih popular ketimbang aneka pangan lokal. Bahkan, di mata warga, aneka pangan lokal itu lebih inferior dari terigu yang telah dicitrakan mewakili cita rasa dan selera global.

Yang mengejutkan, tiap peningkatan 1% pendapatan warga Indonesia ternyata pengeluaran konsumsi pangan yang dibuat dari gandum meningkat di kisaran 0,44-0,84%. Sebaliknya, konsumsi beras tergerus (Fabiosa, 2006).

Ini menegaskan dua hal sekaligus. Pertama, perlahan-lahan konsumsi beras mulai tergantikan gandum. Konsumsi beras perkapita per tahun pada pada 2015 masih 96,9 kg, turun menjadi 94,0 kg pada 2020.

Substitusi yang Salah Kaprah

Meskipun kecil, penurunan ini bermakna. Dari sisi diversifikasi pangan, substitusi beras oleh terigu itu bisa dipandang baik. Namun, substitusi beras oleh terigu adalah diversifikasi yang salah kaprah alias tidak dikehendaki.

Sebab, ini yang kedua, substitusi itu hanya akan mempertegas fenomena peningkatan ketergantungan pada pangan impor. Padahal, dengan sumber daya hayati melimpah Indonesia memiliki aneka sumber daya lokal yang bisa menggantikan gandum, seperti sorgum, singkong, gembili, sukun, ubi jalar, dan yang lain.

Substitusi terigu oleh pangan lokal tak hanya menghemat devisa, tapi juga menciptakan dampak berganda yang luar biasa di berbagai sektor. Dalam konteks ini, perhatian pada sorgum layak diapresiasi.

Kandungan energi sorgum, terigu, dan beras masing-masing 332, 365, dan 360 kalori per 100 gr. Hampir seimbang.

Namun, sorgum jauh lebih unggul dalam kandungan protein, kalsium, fosfor, zat besi, dan serat ketimbang terigu dan beras. Kandungan besi dan fosfor misalnya, lebih besar 3-4 kali dari terigu dan beras.

Indeks glikemik sorgum juga paling rendah, hanya 41. Sementara terigu dan beras 70 dan 90. Sorgum juga bebas gluten. Kelebihan lain, sekali tanam sorgum bisa dikepras hingga tiga kali, semua bagian bisa dimakan, biji bisa langsung dimasak seperti beras, bisa tumbuh di lahan marjinal dan kering, dan tidak perlu perawatan khusus.

Dengan semua atribut ini, sorgum bukan saja layak jadi pangan sehat, terutama bagi penderita diabetes, tapi juga ramah lingkungan.

Kesiapan Sorgum

Lalu, sejauh mana kesiapan sorgum buat mensubstitusi terigu? Menurut Airlangga Hartarto, saat ini ada 4.355 hektare lahan sorgum di 6 provinsi dengan produksi 15.243 ton atau produktivitas 3,63 ton/hektare.

Ditargetkan, tahun ini ada 15 ribu hektare lahan sorgum, meningkat menjadi 115 ribu hektare pada 2023 dan 154 ribu hektare pada 2024. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) diharapkan bisa mengembangkan varietas sorgum. Lalu, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menyiapkan irigasi dan embung di klaster pertama di Nusa Tenggara Timur untuk kepastian ketersediaan air.

Di atas kertas, angka-angka ini begitu mudah dituliskan, tetapi menghadapi ujian tidak mudah kala dieksekusi. Bisa jadi, setelah situasi normal dan ancaman krisis pangan menjauh, sorgum kembali dilupakan. Hal seperti ini sudah berulangkali menimpa pangan lokal lain.

Jika pun kali ini serius, keberlanjutan sorgum bergantung pada komitmen kuat presiden terpilih di Pemilu 2024. Seringkali ganti pemimpin ganti program. Ganti menteri juga ganti prioritas. Kesinambungan terputus. Jejak program sebelumnya tak berbekas.

Agar kondisi ini tidak berulang, selain menggenjot produksi di level usahatani di hulu, pemerintah harus menciptakan pasar di hilir. Jika di industri ada tingkat kandungan dalam negeri, pemerintah perlu mewajibkan industri pengguna tepung memakai tepung sorgum produksi domestik.

Kewajiban disesuaikan kemampuan produksi tepung sorgum domestik. Percayalah, pasar yang pasti itu akan menarik pelaku usaha untuk mengisi, termasuk petani di hulu. Sebagai regulator, pemerintah mesti memastikan kualifikasi dan kontinuitas produk sesuai tuntutan industri.

Jika harga tepung sorgum belum kompetitif, subsidi selisih harga bisa ditimbang. Dengan langkah tak melepas semua ke pasar (hands-off policy), industri bayi ini terlindungi dari laku predator pricing kompetitor yang eksis.

(vws)


[Gambas:Video CNN]
LEBIH BANYAK DARI KOLUMNIS
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER