Lebih lanjut Mamit mengatakan Rusia memang menawarkan skema pembayaran menggunakan rubel karena mereka sudah dikeluarkan dari sistem SWIFT. Jika menggunakan rubel, maka harus dihitung lagi kurs rupiah dengan rubel sedang melemah atau menguat.
Selain itu, Pemerintah Indonesia juga harus berkoordinasi dengan BI terkait pembayaran impor menggunakan rubel. "Harus dilihat kurs dengan rubel juga, lalu sistem pembayaran bagaimana? Ini perlu banyak pertimbangan, dicek juga ke BI karena terkait sistem pembayaran," papar Mamit.
Jangan lupa, impor minyak dari Rusia juga bisa mendatangkan kesialan bagi RI. Harap maklum, negara Barat sedang menjatuhkan banyak sanksi ekonomi untuk Negara Beruang Merah karena invasi militernya ke Ukraina.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy mengatakan permintaan ekspor dari Eropa dan AS berpotensi turun jika Indonesia nekat mengimpor minyak dari Rusia.
"Kita tahu sekutu AS banyak, termasuk negara-negara yang menjadi mitra dagang Indonesia. Jadi salah satu risikonya, tentu terhambatnya aliran dagang," ucap Yusuf.
Selain itu, investasi dari AS dan Eropa juga berpotensi berkurang. Beberapa perusahaan dari negara Barat bisa saja mengurungkan niatnya untuk mencari cuan di RI.
"Bisa saja ada investasi yang ingin dijalankan (oleh AS dan Eropa) tapi dipertimbangkan kembali. Meski, potensinya relatif kecil karena investasi kan berkaitan dengan swasta, bukan pemerintah," papar Yusuf.
Setali tiga uang, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda khawatir permintaan ekspor dari negara barat dan sekutunya akan berkurang kalau RI membeli minyak mentah dari Rusia. Hal itu akan membuat neraca perdagangan RI terganggu.
"Ancaman paling nyata adalah embargo ekonomi dari negara Barat dan sekutu, seperti suplai barang ke Indonesia berkurang," katanya.
Kendati begitu, Nailul melihat pemerintah pasti sudah memperhitungkan berbagai risiko jika benar-benar ingin mengimpor minyak dari Rusia. Kalau pun permintaan ekspor dari AS dan Eropa turun, RI masih punya China sebagai mitra dagang utama.
"Pemerintah tampaknya sudah menghitung betul, mengingat perdagangan kita kan banyak dari China, sehingga tampaknya tak akan mengganggu perdagangan internasional secara signifikan," jelasnya.
Mengutip Badan Pusat Statistik (BPS), China mendominasi pasar ekspor RI sebesar US$5,03 miliar atau 20,77 persen dari total ekspor per Juli 2022.
Total ekspor RI tercatat turun 2,2 persen dari US$26,15 miliar menjadi US$25,57 miliar per Juli 2022. Rinciannya, impor migas sebesar US$1,38 miliar dan non migas US$24,2 miliar.
Nailul berpendapat harga BBM bisa turun jika Indonesia mengimpor minyak dari Rusia. Sebab, modal yang harus dikeluarkan akan semakin sedikit. "Dengan asumsi, harga minyak dari Rusia lebih rendah dari harga global, harusnya bisa membuat cost pengolahan BBM turun," imbuhnya.
Kalau sudah begitu, pemerintah akan memiliki dua pilihan. Pertama, alokasi subsidi BBM akan berkurang jika harga BBM tetap seperti sekarang. Kedua, pemerintah bisa menurunkan harga BBM. Namun, alokasi subsidi dan kompensasi energi tak berubah. "Jadi memberikan pemerintah alternatif kebijakan," tutur dia.
Indonesia diketahui mengimpor minyak mentah paling banyak dari Nigeria senilai US$2,54 miliar sejak Januari 2022 sampai Juli 2022.
Selanjutnya, RI juga mengimpor minyak mentah dari Arab Saudi senilai US$1,88 miliar, Angola US$497 juta, Australia US$326,3 juta, dan Azerbaijan US$314,3 juta, dan Algeria US$171,5 juta.
Lalu, Guinea Khatulistiwa US$162,6 juta, Gabon US$157,5 juta, Amerika Serikat (AS) US$131,1 juta, Kongo US$128,3 juta, Uni Emirat Arab (UEA) US$31,7 juta, Papua Nugini US$30,3 juta, Selandia Baru US$21,2 juta, dan Malaysia US$20,4 juta.