Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengisyaratkan membatasi kebijakan restrukturisasi kredit terkait dampak pandemi covid-19.
"Ke depan, arah stimulus OJK diharapkan akan lebih targeted kepada sektor, segmen, maupun wilayah yang dianggap masih membutuhkan," tutur Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae, dalam keterangan resmi, Selasa (13/9).
Apalagi, data menunjukkan restrukturisasi kredit yang terdampak covid-19 terus melandai. Jika pada Agustus 2020, jumlah restrukturisasi kredit mencapai level tertingginya sebesar Rp830,47 triliun, maka pada Juli 2022 tersisa hanya Rp560,41 triliun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"40 persen dari kredit yang direstrukturisasi karena terdampak covid-19 telah kembali sehat dan keluar dari program restrukturisasi," terang dia.
Dari sisi jumlah debitur yang mendapatkan keringanan restrukturisasi kredit pun terus menyusut. Pada Agustus 2020, jumlah debitur yang menikmati relaksasi ini sebanyak 6,84 juta, kini per Juli 2022 hanya sebanyak 2,94 juta debitur.
Secara proporsi sektoral, restrukturisasi covid-19 per sektor terhadap total kredit yang masih di atas 20 persen adalah sektor akomodasi, makanan, dan minuman yang mencapai 42,69 persen atau senilai Rp126,06 triliun.
"Sektor lain yang masih terdampak adalah real estate dan sewa sebesar 17,90 persen. Kredit sektor ini masih direstrukturisasi senilai Rp51,87 triliun," imbuh dia.
"Oleh karenanya, OJK mempertimbangkan efektivitas kelanjutan kebijakan restrukturisasi kredit sehubungan dengan tingkat pemulihan kinerja debitur yang berbeda di setiap sektor, segmen, serta wilayah," kata Dian.
Meskipun, ia melanjutkan berbagai tantangan masih berpotensi menghalangi optimisme tersebut di antaranya masih tingginya tensi geopolitik global, disrupsi rantai pasok, tingginya harga komoditas dan energi.
"Serta efek rembetan dari peningkatan inflasi dan suku bunga yang memicu stagflasi, masih membayangi optimisme pemulihan ekonomi," tandasnya.