Uni Eropa membutuhkan lebih dari 140 miliar euro atau setara Rp2.080 triliun (kurs Rp14.864 per euro) untuk mengatasi lonjakan harga listrik dan gas.
Mengutip Reuters, Kamis (15/9), harga gas dan listrik Eropa melonjak karena Rusia memotong ekspor bahan bakar ke negara Barat. Hal itu dilakukan Negara Beruang Merah sebagai balas dendam atas sanksi ekonomi yang diberikan oleh Eropa.
Kondisi ini membuat banyak orang kesulitan untuk membayar tagihan energi. Sebab, biaya listrik dan gas melonjak dari sebelumnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pemerintah Eropa telah melakukan sejumlah strategi untuk menghadapi kondisi tersebut, mulai dari membatasi harga listrik dan gas konsumen hingga menawarkan kredit dan jaminan kepada penyedia listrik yang berisiko bangkrut.
"Negara-negara Anggota UE telah menginvestasikan miliaran euro untuk membantu rumah tangga yang rentan. Tapi kami tahu ini tidak akan cukup," kata Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen kepada Parlemen Eropa.
Proposal Komisi Eropa mencakup pembatasan pendapatan dari pembangkit listrik. Hal ini termasuk upaya pemerintah untuk memaksa perusahaan bahan bakar fosil berbagi keuntungan dari penjualan energi.
"Pada saat ini adalah salah untuk menerima rekor pendapatan dan keuntungan yang luar biasa dari perang dan di belakang konsumen kita," kata von der Leyen.
Harga gas patokan Eropa naik menjadi sekitar 208 euro per megawatt hour (MWh). Angka itu jauh di bawah rekor Agustus 2022 yang di atas 343 euro, tetapi naik lebih dari 200 persen dibandingkan tahun lalu.
"Perselisihan geopolitik selama berbulan-bulan telah membuat pasar gas Eropa terpukul dengan harga yang bergejolak berasal dari kurangnya pasokan, potensi intervensi pasar, dan ketidakpastian yang lebih luas," kata analis Rystad Zongqiang Luo.
Sementara, Prancis mulai membatasi harga energi baru pada 2023 demi melindungi konsumen dari inflasi.
Pemerintah Prancis mengatakan kenaikan harga listrik untuk rumah tangga akan dibatasi sebesar 15 persen pada awal tahun depan.
"Kami bertekad, seperti pada awal krisis yang kami hadapi, untuk bertindak, beradaptasi, dan melindungi Prancis dan ekonomi kami", kata Perdana Menteri Elisabeth Borne.
Kemudian, Denmark menyiapkan pagu sementara sendiri untuk tagihan energi. Lalu, importir terbesar gas Rusia bernama Uniper mengatakan Pemerintah Jerman dapat mengambil saham pengendali untuk membantu mengatasi krisis energi.
(fby/aud)