Menteri Keuangan Sri Mulyani memastikan dunia jatuh ke jurang resesi ekonomi tahun depan. Maklum, banyak bank sentral yang sudah mengerek suku bunga acuan demi menekan inflasi.
"Kenaikan suku bunga acuan cukup ekstrem bersama-sama, maka dunia pasti resesi pada 2023," ungkap Sri Mulyani dalam konferensi pers, Senin (26/9).
Bank sentral memang kerap menaikkan suku bunga acuan demi menekan inflasi. Sebab, kebijakan moneter itu dapat mengelola likuiditas atau peredaran uang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jumlah uang beredar akan mempengaruhi inflasi. Semakin banyak uang yang beredar, maka inflasi akan semakin tinggi.
Sebaliknya, tingkat inflasi akan semakin rendah jika jumlah uang yang beredar lebih sedikit. Di sisi lain, kenaikan suku bunga acuan juga akan menghambat pertumbuhan ekonomi. Masalahnya, kebijakan pengetatan moneter itu akan membuat bunga kredit semakin mahal.
Kalau sudah begitu, perusahaan biasanya akan mengurangi pengajuan kredit modal kerja ke perbankan demi mengurangi biaya utang. Dengan kata lain, banyak perusahaan yang berpotensi menunda rencana ekspansi, sehingga industri berjalan lambat di dalam negeri.
Tak hanya itu, pengajuan kredit konsumtif dari masyarakat juga akan berkurang. Hal itu akan membuat tingkat konsumsi turun dan berdampak negatif bagi pertumbuhan ekonomi.
Sri Mulyani menyoroti pertumbuhan ekonomi sejumlah negara mulai melambat pada kuartal II 2022. Beberapa contohnya, seperti Amerika Serikat (AS), Jerman, China, hingga Inggris.
"Tren pelemahan terlihat mulai kuartal II 2022 di beberapa negara dan akan lebih dalam kuartal III dan kuartal IV 2022, sehingga prediksi pertumbuhan ekonomi tahun ini dan tahun depan, termasuk kemungkinan resesi mulai muncul," jelas Sri Mulyani.
Kendati demikian, ia masih percaya ekonomi RI baik-baik saja. Pasalnya, PDB RI tumbuh 5,44 persen pada kuartal II 2022 atau lebih tinggi dari kuartal I 2022 yang sebesar 5,01 persen.
"Indonesia juga sampai semester I 2022 ini level dari PDB sudah 7,1 persen di atas level sebelum terjadi pandemi," terang Sri Mulyani.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede sepakat dengan Sri Mulyani. Menurut dia, ekonomi RI masih sehat sampai sekarang.
Tak hanya itu, kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) juga tak agresif seperti bank sentral di negara lain.
"Saya pikir resesi itu kemungkinan di negara-negara maju ya, contohnya AS karena menaikkan suku bunga acuan yang agresif, jadi risiko resesi paling besar," tutur Josua.
BI sendiri, sambung Josua, baru menaikkan suku bunga acuan total 75 basis poin sejak Januari sampai September 2022. Realisasi ini berbeda dengan bank sentral AS yang sudah mengerek suku bunga acuan hingga ratusan persen.
"Kesimpulannya kalau dilihat Indonesia masih jauh dari potensi resesi," jelas Josua.
Selain itu, utang luar negeri (ULN) Indonesia masih terkendali sampai sekarang. Tercatat, ULN RI turun dari US$403,6 miliar menjadi US$400,4 miliar pada Juli 2022.
Jika dirinci, ULN pemerintah turun dari US$187,3 miliar menjadi US$185,6 miliar dan ULN swasta turun dari US$207,7 miliar menjadi US$206,3 miliar.
"Utang luar negeri masih terkendali. Kalau utang luar negeri naik, lalu ekonomi global memburuk maka ada fluktuasi nilai tukar. Jadi saat utang luar negeri banyak pasti akan buruk dampaknya. Sulit bayar bunga utang," papar Josua.
Kendati begitu, ia mengingatkan pemerintah dan swasta untuk tetap berhati-hati mengelola utang. Salah sedikit, maka dampaknya akan fatal.
Apalagi jika berutang dengan denominasi dolar AS. Saat ini, mata uang Negeri Paman Sam semakin moncer di tengah kenaikan bunga acuan The Fed.
Ketika dolar AS menguat, maka rupiah otomatis tertekan. Itu berarti biaya utang luar negeri yang harus dibayar oleh pemerintah dan swasta juga semakin mahal.
"Harus ada pengelolaan utang agar kondisi ekonomi tetap baik dan utang perusahaan swasta juga tak memburuk," ujar Josua.
Di sisi lain, pemerintah juga harus tetap hati-hati karena Indonesia berpotensi kena dampak dari resesi global. Permintaan ekspor akan berkurang dari negara-negara yang masuk ke jurang resesi.
Menurut Josua, dampak atas kegiatan ekspor dan impor ke PDB RI sebesar 20 persen. Sisanya berasal dari konsumsi rumah tangga dan investasi.
Meski tak besar, tapi pemerintah harus tetap waspada karena dampak gejolak ekonomi global akan merembet ke RI.
"Iya (ada pengaruh dari sisi ekspor impor). Tapi komponen ekspor impor kurang dari 20 persen terhadap PDB," imbuh Josua.