ANALISIS

Tak Lekas Berbangga Diri dan Jaga Utang Kunci RI Selamat dari Resesi

Dinda Audriene | CNN Indonesia
Selasa, 27 Sep 2022 07:04 WIB
Ekonom menyebut Indonesia memang masih aman dari resesi. Meski demikian mereka mengingatkan pemerintah agar jangan lekas berbangga diri.
Ekonom meminta pemerintah tak lekas berbangga diri dengan ekonomi Indonesia yang masih tumbuh di tengah ancaman resesi dunia. (ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto).

Setali tiga uang, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda menilai permintaan dari AS berpotensi turun jika negara itu masuk ke jurang resesi. Hal ini akan mempengaruhi neraca dagang Indonesia.

"Ekspor dan impor juga berpengaruh mengingat AS juga menjadi salah satu tujuan ekspor produk Indonesia. Dengan lesunya ekonomi AS akan menurunkan permintaan produk dari Indonesia. Bisa jadi ekspor akan turun," tutur Nailul.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), AS menjadi negara tujuan ekspor terbesar kedua setelah China pada Agustus 2022. Nilai ekspor RI ke AS sebesar US$2,59 miliar atau 9,87 persen dari total ekspor.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun, ia sependapat dengan Josua bahwa pengaruh ekspor dan impor kecil terhadap PDB RI. Dengan demikian, penurunan ekspor tak akan mendorong Indonesia masuk ke jurang resesi.

"Tapi pengaruh ekspor dan impor kecil, jadi pengaruhnya ke resesi cukup kecil," kata Nailul.

Sementara, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira memproyeksi harga komoditas anjlok di tengah gejolak ekonomi global. Sebab, permintaan barang akan menurun jika banyak negara yang masuk ke jurang resesi.

"Nah neraca dagang Indonesia kan selama ini ditopang harga komoditas yang tinggi. Kalau resesi maka permintaan barang industri menurun. Ini akibatnya terjadi penurunan harga komoditas unggulan dan menyebabkan tekanan dari sisi ekspor," ucap Bhima.

Selain itu, realisasi investasi langsung di Indonesia juga akan turun jika banyak negara yang resesi tahun depan. Investor akan mengamankan dananya ke instrumen yang lebih aman.

"Investasi langsung turun, rencana bisnis berubah. Apalagi kalau suku bunga acuan naik agresif demi tekan inflasi, maka biaya pinjaman sektor investasi tinggi dan akan mengganggu realisasi investasi langsung," jelas Bhima.

Maka dari itu, pemerintah sebaiknya jangan cuma bicara soal sinyal resesi tahun depan, melainkan bergerak cepat agar dampak gejolak ekonomi global tak merembet ke Indonesia. Salah satunya dengan menaikkan subsidi energi.

"Jadi sekarang dibandingkan pemerintah berikan sinyal ada ancaman resesi dan banggakan pertumbuhan ekonomi Indonesia, yang dibutuhkan itu kebijakannya apa kalau ada ancaman resesi, misalnya menaikkan subsidi energi, harga BBM dijaga, bukan justru dinaikkan," ujar Bhima.

Lalu, ia mengusulkan pemerintah menurunkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 7 persen-8 persen. Hal ini perlu dilakukan demi mengurangi beban masyarakat dalam berbelanja.

"Tujuannya agar merelaksasi konsumsi masyarakat. Bukan pajak semakin tinggi," ucapnya.

Ia memproyeksi ekonomi Indonesia hanya tumbuh 4,7 persen pada 2022. Lalu melambat menjadi 4,3 persen tahun depan.

"Harusnya ekonomi tumbuh 5,3 persen tahun depan kalau lihat asumsi makro RAPBN 2023. Tapi karena resesi jadi koreksi," tutup Bhima.



(agt)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER