Badan Energi Internasional (IEA) memperkirakan Eropa akan menghadapi krisis energi yang lebih parah pada 2023. Pasalnya, Eropa telah menguras tangki gas alamnya menjelang musim dingin.
Negara-negara Eropa mengisi tangki penyimpanan gas sekitar 90 persen dari kapasitas setelah Rusia memotong pasokan gas sebagai tanggapan atas sanksi Barat.
Direktur Eksekutif IEA Fatih Birol mengatakan Eropa bisa bertahan dengan penyimpanan gas 90 persen tersebut di musim dingin. Namun, akan kesulitan di waktu mendatang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Musim dingin ini sulit tetapi musim dingin berikutnya mungkin juga sangat sulit," kata Birol dikutip dari Reuters, Kamis (6/10).
Di sisi lain, harga gas yang melonjak beberapa bulan terakhir akibat invasi Rusia ke Ukraina, perlahan mulai turun. Namun, hal itu diperkirakan tidak bertahan lama karena negara-negara bersaing untuk membeli gas alam cair (LNG) dan alternatif lain untuk pengiriman pipa Rusia.
Demi mengatasi kondisi itu, Uni Eropa sedang mempertimbangkan pembatasan harga gas, tetapi itu menjadi masalah yang telah memecah blok 27 negara karena beberapa negara khawatir hal itu dapat mempersulit mengamankan pasokan.
Krisis energi yang dialami Eropa semakin parah karena Rusia kian membatasi ekspor gas alam cair mereka.
Raksasa energi Rusia Gazprom diketahui menghentikan aliran pipa di Nord Stream 1 tanpa batas waktu lantaran kebocoran minyak dalam sebuah turbin.
Tahun lalu, Gazprom mengalirkan 35 persen dari total impor Eropa terhadap gas Rusia. Namun, sejak Juni lalu, Gazprom memangkas ekspornya menjadi hanya 20 persen dengan alasan pemeliharaan dan perselisihan akibat sanksi negara Barat imbas invasi militer terhadap Ukraina.
Keputusan Rusia untuk tidak membuka kembali pipa mereka memicu kekhawatiran bahwa Uni Eropa bisa kekurangan gas menghadapi musim dingin ini.
Walhasil, beberapa negara pun bersiap menghabiskan banyak anggaran untuk mengurangi tekanan dari lonjakan harga gas dan krisis energi.
Jerman, misalnya, mengumumkan paket bantuan US$64 miliar untuk membantu rumah tangga dan perusahaan mengatasi lonjakan inflasi.
Negara dengan ekonomi terbesar di Eropa itu sangat bergantung pada ekspor gas Rusia untuk menggerakkan rumah dan industri beratnya.
Perdana Menteri Inggris Liz Truss juga melakukan langkah serupa dengan mengumumkan rencana penyaluran lebih banyak bantuan kepada rumah tangga dan perusahaan.