Kuasa Hukum PT Universal Pharmaceutical Industries, produsen sirop obat merek Unibebi, angkat suara soal penarikan produknya yang diduga penyebab gangguan ginjal akut terhadap anak-anak.
Tiga produk yang ditarik, yakni Unibebi Cough Sirup, Unibebi Demam Sirup, dan Unibebi Demam Drops. Peredaran produk ketiganya disetop sementara oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) bersama puluhan obat sirop lainnya.
Alasannya, sirop obat Unibebi disebut mengandung cemaran etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) yang melebihi ambang batas yang ditentukan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hermansyah Hutagalung, salah seorang kuasa hukum perusahaan membenarkan bahwa produk yang dibuat di pabrik Jalan KL Yos Sudarso, Kota Medan, Sumut, tersebut sudah ditarik semua.
"Obat kami (Unibebi) sudah ada sejak tahun 1970-an. Pada 1972 obat ini beredar di Indonesia dan tidak ada perubahan komposisi. Kami punya versi yang lulus BPOM," ujarnya dalam konferensi pers di Medan, Selasa (25/10).
Disinggung mengenai kandungan EG dan DEG, Hermansyah tak banyak menjawab. Malahan, ia mengaku itu pula yang menjadi pertanyaan.
"Kira-kira ambang batas itu berapa? Apakah kita sudah bersepakat sama-sama ambang batas itu di tingkat berapa?" tanya Hermansyah.
"Itu juga perlu kita dapatkan edukasi dari pemerintah, sehingga ambang batas yang dimaksud pemerintah sama ahli juga tidak menciptakan ambigu kepada pabrik yang punya bisnis untuk menciptakan obat," lanjutnya.
Bahkan, Hermansyah mengklaim obat sirop Unibebi bukan lah penyebab anak-anak meninggal akibat gangguan ginjal akut.
"Perlu kita pastikan bahwa hasil BPOM yang mengumumkan tiga obat Unibebi kami masuk dalam kualifikasi di dalam ambang batas tidak aman. Bukan dijelaskan sebagai penyebab kematian," imbuh dia.
"Jangan salah, hanya dijelaskan melewati ambang batas aman. Tidak dijelaskan BPOM, bahwa itu penyebab gagal ginjalnya seorang anak. Itu perlu juga kita luruskan jangan sampai terlalu melebar hingga produk kita jadi hancur," sambung Hermansyah.
Apalagi, selama ini produk Unibebi dipasarkan karena sudah lulus uji laboratorium dari BPOM dan sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang sudah ditentukan.
"Mekanismenya, ketika obat ini mau dipasarkan, pasti BPOM memeriksa unsurnya apa, kalau dia sudah dinyatakan bebas berarti bisa dipasarkan. Kalau dia tidak lulus pemeriksaan pasti keluar surat untuk mengatakan ini tidak boleh dipasarkan," tandasnya.