Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi tahunan RI di level 5,71 persen per Oktober. Secara bulanan, indeks harga konsumen (IHK) mengalami deflasi 0,11 persen.
Inflasi Oktober lebih landai diyakini karena penurunan harga sejumlah komoditas, seperti cabai merah, telur ayam, daging ayam, cabai rawit, tomat, hingga bawang merah.
Tercatat, inflasi untuk cabai merah turun drastis dari 148,66 persen menjadi 57,60 persen secara tahunan. Lalu, telur ayam dari 31,28 persen menjadi 26,41 persen, daging ayam dari 5,61 persen menjadi 1,84 persen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lihat Juga : |
Lantas, apakah deflasi ini menjadi jaminan bahwa RI bebas krisis atau setidak-tidaknya jauh dari ancaman resesi ekonomi?
Ekonom Indonesia Strategic and Economics Action Institution Ronny P Sasmita mengingatkan bahwa penurunan inflasi tidak serta merta membuat RI lolos dari ancaman jeratan resesi.
"Saya rasa tidak ada jaminan untuk itu (bebas risiko). Justru turunnya inflasi harus dilihat secara kritis," ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Selasa (1/11).
Malah, seharusnya pemerintah perlu lebih jeli melihat apakah penurunan harga sejumlah komoditas yang membuat deflasi Oktober karena terjadi pelemahan daya beli masyarakat.
Lihat Juga : |
Ronny menjelaskan penurunan inflasi Oktober dibanding September terjadi karena efek kenaikan harga BBM sudah sudah berlalu.
Ia menilai melonjaknya harga-harga komoditas pokok imbas kenaikan BBM lebih banyak terjadi pada September. Sehingga, efek lanjutannya pada Oktober tidak terlalu signifikan.
Harga komoditas pokok sudah memasuki pola yang cukup normal. Keseimbangan antara permintaan dan penawaran untuk sementara waktu mulai terbentuk.
Bahkan, untuk makanan dan minuman secara bulanan tercatat minus, walaupun secara tahunan masih naik. Lihatlah, secara tahunan inflasi bahan makanan mencapai 7,04 persen pada Oktober 2022.
Karena hal tersebut, Ronny mengatakan deflasi pada Oktober mengindikasikan permintaan mulai melemah. Ia menilai lesunya permintaan disebabkan oleh kenaikan harga-harga di September lalu maupun karena bertambahnya pengangguran.
Jika hal ini benar, maka Indonesia justru akan semakin rentan terhadap tekanan resesi global. "Artinya, daya beli dan permintaan harus benar-benar dijaga, jika memungkinkan ditingkatkan," imbuh Ronny.
Oleh karenanya, penting bagi pemerintah menyiapkan berbagai skema kebijakan untuk memitigasi penurunan permintaan dan daya beli ini.
Menurutnya, skema itu bisa dilakukan baik dalam bentuk kebijakan bantuan sosial kemasyarakatan maupun kebijakan untuk memitigasi pemutusan hubungan kerja (PHK) lebih lanjut.
Lihat Juga : |
Pun secara moneter, Bank Indonesia (BI) perlu memikirkan untuk tidak menaikan lagi suku bunga acuan. Paling tidak sampai data PDB kuartal ketiga keluar.
"Hal ini agar beban dunia usaha untuk mendapatkan likuiditas segar tidak terlalu sulit," kata Ronny.
Segendang sepenarian, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda deflasi pada Oktober 2022 belum layak dibilang penguatan ekonomi.
Sebab, deflasi terjadi karena penurunan harga pada beberapa bahan makanan yang merupakan volatile goods. Sementara itu, perubahan harga pada barang-barang itu biasanya terjadi sangat cepat.
Ia menyebut harga bahan makanan, seperti cabai merah, telur ayam ras, daging ayam ras, cabai rawit, tomat, dan bawang merah dipengaruhi oleh permintaan dan cuaca.
Apalagi, dari sisi inflasi inti, Indonesia berada di level 3,31 persen secara tahunan pada Oktober. Dengan begitu RI tidak bisa percaya diri bisa sepenuhnya lolos dari ancaman resesi global.