Sementara itu, Direktur Indonesia Development and Islamic Studies (IDEAS) Yusuf Wibisono menyoroti tingkat produksi beras nasional yang cenderung turun dalam 4 tahun terakhir, dari 33,9 juta ton pada 2018 menjadi 31,4 juta ton pada 2021.
Ia mengatakan perlu hati-hati dalam mencerna data proyeksi Badan Pusat Statistik (BPS) tentang kenaikan produksi beras pada 2022.
Menurutnya, saat ini konversi lahan sawah masif terjadi, terlebih di Jawa yang dipenuhi berbagai proyek strategis nasional (PSN), seperti jalan tol Trans Jawa yang banyak mengorbankan lahan pertanian produktif.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dari peta lahan sawah dilindungi pada 2021 di 8 provinsi utama beras, yakni Banten, Jabar, Jateng, DIY, Jatim, Bali, NTB, dan Sumbar, kami menemukan selisih hingga 136 ribu hektare dengan luas lahan baku sawah di 2019. Tanpa perlindungan, lahan sawah seluas itu sangat mungkin sudah dikonversi. Dengan kata lain, sangat mungkin luas lahan baku sawah 2019 sebesar 7,46 juta hektare sudah mengalami penurunan signifikan sekarang ini," jelasnya.
Ia menyimpulkan kenaikan harga beras saat ini terjadi karena faktor musiman berupa produksi beras paling rendah pada November-Desember dan cuaca yang membuat hasil panen menurun.
Di lain sisi, Yusuf mengatakan pemerintah gagal dalam meningkatkan produksi beras, terutama dalam melindungi alih fungsi lahan pertanian pangan produktif.
Yusuf tak menampik bahwa impor beras menjadi pilihan yang sulit dihindari. Kendati, langkah impor tidak mudah karena belum tentu barang tersedia di pasar global, dibarengi harga yang cenderung tinggi. Menurutnya, beras terlalu strategis untuk dikelola dengan cadangan pemerintah di Bulog yang kini sangat tipis.
"Hal ini menjadi pelajaran besar yang tidak boleh terulang, yaitu mengapa saat panen raya di Maret-April, Bulog tidak melakukan penyerapan beras petani secara optimal sehingga di akhir tahun saat ini seharusnya memiliki cadangan yang cukup," tegasnya.
Lihat Juga : |
Ia berharap pemerintah mengembalikan program Bantuan Sosial Beras Sejahtera (Bansos Rastra) yang kini dihapus dan digantikan bantuan pangan non tunai (BPNT). Dengan begitu, Bulog memiliki mekanisme pelepasan cadangan beras pemerintah yang pasti. Langkah ini juga dianggap krusial untuk memastikan tidak ada lagi alih fungsi lahan sawah produktif, terutama di Jawa dan daerah lumbung beras lainnya, seperti Sulawesi Selatan dan Sumatera Selatan.
Sementara itu, Peneliti Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Eliza Mardian menyoroti soal gerak lamban pemerintah dalam melakukan impor kedelai. Menurutnya, hal ini yang membuat harga tahu dan tempe terus meroket. Padahal, pemerintah sudah sadar bahwa kebutuhan kedelai di dalam negeri terpenuhi melalui skema impor.
"Pemerintah seharusnya bisa mengatur waktu impor, kita sudah jelas ketergantungan tinggi terhadap impor, 80 persen impor, ya mestinya bisa mengatur dengan baik time management-nya. Jangan tunggu harga mulai merangkak naik baru mau impor, impor ini membutuhkan waktu 40-50 hari," paparnya.
Eliza menilai Bulog kurang maksimal untuk menyerap kedelai petani. Kendati, ia tak menutup mata bahwa memang kedelai bukan prioritas petani Indonesia. Ia menilai petani Indonesia menganggap menanam kedelai kurang menjanjikan dari segi keuntungan, belum lagi harga produksi mahal dan persaingan dengan kedelai impor.
Lihat Juga : |
Menurutnya, pemerintah harus bisa menyediakan pangan berkualitas baik dengan harga yang bersaing. Cara yang bisa dilakukan pemerintah adalah dengan memulai dari dukungan terhadap petani, mulai dari penyediaan sarana produksi, infrastruktur irigasi yang saat ini kurang diutamakan, hingga pembiayaan dan pemasaran.
Senada, Peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios) Muhammad Andri Perdana mengatakan Bulog seharusnya bisa menyerap panen petani untuk menjaga keterjangkauan harga pangan di pasar. Selain untuk melakukan intervensi pasar, rantai pasokan Indonesia diklaim masih terlalu panjang di mana berbagai daerah bisa sampai 6-10 rantai pasok dari petani hingga ke konsumen.
Meski begitu, Andri sadar bahwa produksi kedelai dalam negeri hanya menyumbang 3 persen dari seluruh pasokan yang dibutuhkan Indonesia. Hal ini membuat penyerapan panen tidak bisa berbuat banyak untuk menjaga kestabilan harga jangka panjang jika Indonesia belum bisa memperbaiki ketahanan pangan.
Menurutnya, asupan protein di masyarakat Indonesia bergantung pada tahu dan tempe karena jumlah protein per rupiahnya paling terjangkau jika dibandingkan dengan alternatif pangan lain.
Ia mengatakan jika masyarakat banyak meninggalkan konsumsi produk tahu dan tempe dan menggantinya dengan lauk yang lebih murah, maka akan berpengaruh ke permasalahan gizi terutama bagi perkembangan ibu hamil dan anak yang berisiko meningkatkan angka stunting.
Oleh karena itu, Andri menegaskan pemerintah harus berfokus untuk menjaga kestabilan komoditas melalui subsidi kedelai yang terus diperpanjang serta mempercepat realisasi bansos atau menambah alokasi belanja bansos. Menurutnya, bansos sangat berpengaruh untuk menjaga daya beli masyarakat ketika bank sentral semakin sulit menaikkan suku bunga untuk menjaga inflasi.
"Ke depannya harga pangan dunia akan semakin berfluktuasi mengingat rantai pasokan pupuk yang masih terhambat oleh ketidakpastian perang Rusia-Ukraina. Oleh karena itu, pemerintah sebaiknya melakukan penguatan sarana prasarana ketahanan pangan yang ditopang oleh Badan Pangan Nasional (Bapanas), seperti cold storage untuk daerah sentra produksi. Belanja tidak terduga pada APBD tiap daerah juga harus diprioritaskan untuk menjaga inflasi pangan di masyarakat," saran Andri.
Menyoroti soal eksistensi Badan Pangan Nasional (Bapanas), Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB University Muhammad Firdaus mengatakan kunci impor jenis pangan tertentu, seperti kedelai atau beras, bisa lebih mudah dengan kehadiran Bapanas.
Kedua, Firdaus menempatkan Bulog sebagai operator dari Badan Pangan Nasional (Bapanas). Dengan begitu, Bulog bakal bekerja sesuai dengan arahan dari pimpinan Bapanas. Ia menegaskan pemerintah perlu menyiapkan pendanaan khusus untuk Bulog agar bisa menyerap pangan petani demi menjaga kestabilan stok dan harga pangan.
"Memang betul saat harga beras sedang relatif lebih murah saat panen raya harusnya Bulog bisa menyerap beras petani. Tetapi karena berbagai kondisi, ini tidak dilakukan pada 2022 ini, khususnya Maret-April. Sehingga memang pendanaan untuk Bulog ini perlu dipikirkan karena sangat strategis dan pemerintah tentunya harus mau mengalokasikan anggaran yang cukup untuk Bulog agar mampu membeli, tetapi tentu saja kewajiban Bulog adalah dalam penyaluran," jelasnya.
Ketiga, khusus soal penyaluran, Firdaus menegaskan bahwa kehadiran Bapanas bisa membuat koordinasi lintas kementerian menjadi lebih baik. Menurutnya, kenaikan harga tidak hanya dipicu masalah kekurangan pasokan, tetapi juga kenaikan permintaan untuk bansos. Ia menekankan koordinasi dari sisi keseimbangan pasokan dan permintaan ini yang perlu dijalankan Bapanas.
Dengan adanya Bapanas, ia meyakini kebijakan pangan di Indonesia bisa lebih terkoordinasi. Selain itu, hal-hal yang sebelumnya terjadi, seperti ketidaksinkronan data, ketidaksinkronan kebijakan pangan, hingga kurangnya dukungan anggaran bisa terselesaikan.