Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup di level 6.715 pada akhir pekan lalu, Jumat (9/12). Indeks saham melemah 89.109 poin atau minus 1,31 persen dari perdagangan sebelumnya.
Dalam sepekan terakhir, IHSG melemah lima hari berturut. Secara akumulatif, perdagangan melemah 4,43 persen.
Tercatat, investor asing jual bersih (net sell) minus Rp6,68 triliun. Pelaksana Harian Sekretaris Perusahaan Bursa Efek Indonesia (BEI) I Gusti Agung Alit mengatakan rata-rata nilai transaksi harian Bursa juga mengalami perubahan sebesar 15,86 persen dari Rp17.522 triliun menjadi Rp14.742 triliun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lihat Juga : |
Rata-rata frekuensi transaksi harian Bursa juga turun dari 1.205.337 menjadi 1.114.323 transaksi. Artinya, penurunan ini mencapai 7,55 persen.
Tak hanya itu, rata-rata volume transaksi bursa tercatat turun 22,46 persen dari 31.506 miliar menjadi 24.428 miliar saham pada penutupan pekan lalu.
Pelatih investasi saham dan derivatif sekaligus CEO Akela Trading System Hary Suwanda mengungkapkan faktor yang menyebabkan IHSG ambles selama tujuh hari berturut kemarin adalah penurunan ekstrem pada saham TLKM dan ASII. Pasalnya, kedua perusahaan itu berinvestasi pada GOTO.
"Pada Selasa, 6 Desember 2022, IHSG bearish breakout, terjun bebas menembus support level 6.955. Hal ini dipicu penurunan ekstrem pada saham TLKM dan ASII, yang mengalami kinerja keuangannya tergerus cukup signifikan akibat investasi mereka pada saham GOTO," kata Hary saat dihubungi CNNIndonesia.com, Minggu (11/12).
Ia menilai saham GOTO sejak awal meluncur di bursa saham telah overvalue, atau ketika perusahaan masih berada dalam kondisi merugi. Berdasarkan data yang dimiliki, kerugian Q3 2022 sebesar Rp20,32 triliun.
"Jika penurunan ini masih berlanjut maka, target berikutnya adalah support IHSG di kisaran 6560," ucapnya.
Menurutnya, sentimen ini akan terus berpengaruh ke bursa saham dan masih akan berlanjut pekan depan.
Meski demikian, ia menjelaskan terdapat pula sentimen negatif dari luar negeri. Salah satunya data Producer Price Index (PPI) Amerika Serikat yang menunjukkan angka 0,4 persen. Sementara, konsensus yang dibuat hanya berada di 0,2 persen.
"Hal ini memicu kembalinya kekhawatiran akan inflasi dan berakibat koreksi pada Bursa Amerika, yang berpotensi akan berpengaruh juga ke IHSG," papar Hary.
Mempertimbangkan berbagai sentimen negatif itu, Hary memperkirakan sektor yang masih akan menghasilkan pundi-pundi adalah barang konsumen primer (Consumer Non Cyclical). Sebab, dalam kondisi inflasi, sektor ini relatif tidak terpengaruh dibanding yang lain.
Hary pun menyarankan kepada para investor untuk menghindari sektor yang peka terhadap kenaikan suku bunga.
"Serta saham-saham yang secara fundamental masih membukukan negative earnings, beban hutang besar, kurang baik dalam kondisi Bank Sentral yang menaikkan suku bunga guna memerangi inflasi," ucapnya.
Meskipun, secara rinci ia tidak merekomendasikan saham apapun hingga masa koreksi IHSG selesai.