Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) memperkirakan industri manufaktur dan perusahaan rintisan (startup) paling rentan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) pada 2023.
Staf Khusus Menteri Ketenagakerjaan Reza Hafiz mengungkapkan kedua industri ini pun sudah melakukan pemutusan kerja sejak awal tahun.
"Sektor yang paling berdampak itu manufaktur. Kedua mungkin di startup," ujar Reza dalam Indef School of Political Economy (ISPE), Rabu (14/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Beberapa startup Indonesia yang telah melakukan PHK di antaranya Sayurbox, Tanihub, Carousell, Shopee, JD.ID, LinkAja, Tokocrypto, hingga GoTo.
Reza menilai startup yang paling banyak PHK tahun depan adalah sektor teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Bahkan jumlah PHK di sektor ini akan lebih banyak dari sekarang.
"Ini banyak sektor TIK yang perusahaannya masih di level startup. Saya enggak mau bohong, sekarang saja banyak banget startup yang harus let go karyawan," imbuhnya.
Namun, ia menekankan meski terjadi banyak PHK, bisnis startup cukup menarik. Jika ada perusahaan melakukan PHK, maka startup lainnya yang masih survive bakal menampung sebagai karyawan.
Selain itu, karyawan di perusahaan startup juga memiliki semangat kerja yang tinggi dan terbiasa dengan tekanan, jadi akan lebih mudah pindah kerja dan mencari perusahaan baru.
"Jadi ketika Gojek PHK, mereka sudah komunikasi dulu dengan komunitas startup. Ada teman-teman yang bakal meninggalkan Gojek misalnya, ada enggak yang mau bantu hiring atau gunakan jasanya, itu banyak. Jadi itu lebih dinamis," jelasnya.
Ekonom Senior Indef Aviliani sebelumnya mengatakan setidaknya ada dua penyebab banyak startup di Indonesia melakukan PHK. Pertama, karena startup tidak memiliki ekosistem seperti industri lain.
Padahal, menurutnya, ekosistem menjadi sangat penting untuk startup bisa mempertahankan dan meningkatkan skala bisnis nya.
"Sampai saat ini startup di Indonesia itu tidak memiliki ekosistem yang kuat. Padahal, startup seperti e-commerce itu harus punya ekosistem. kalau tidak punya ekosistem ya nggak akan bisa survive," jelasnya.
Kedua, karena startup tidak memiliki basic skill di lapangan. Artinya, saat membangun suatu usaha, pelaku startup hanya melihat data tanpa melihat langsung ke lapangan dan rencana kerja yang semu.
"Kita bisa lihat banyak startup abis IPO itu nggak tahu mau ngapain. Itu karena mereka nggak punya basic sektor riilnya," imbuhnya.