Konsumen Meikarta Riwayatmu Kini, Maju Kena Mundur Kena
Malang betul nasib konsumen Apartemen Meikarta. Hunian vertikal yang digadang-gadang jadi hunian masa depan itu boleh dibilang tinggal angan-angan saja karena belum ada satu pun unit properti yang diserah-terimakan kepada calon penghuni.
Padahal, sesuai janjinya di awal pemasaran dulu, serah terima unit apartemen bakal dilakukan pertengahan 2019-2020 lalu. Namun, tahun-tahun terlewati, penyelesaian proyek malah molor.
PT Mahkota Sentosa Utama (MSU) selaku pemilik proyek belum juga melaksanakan serah terima unit seperti Penegasan dan Persetujuan Pemesanan Unit (P3U) kepada konsumen.
Walhasil, sejumlah konsumen memilih berhenti membayar cicilan atawa angsuran. Alih-alih, dana yang masuk dikembalikan (refund), konsumen justru mendapat peringatan dari Bank Nobu selaku bank yang memberikan Kredit Pemilikan Apartemen (KPA).
"Kalau surat peringatan itu kan berarti ada yang mengancam, memperingati, 'eh kamu bayar dong unitnya, bayar angsuran kamu', bagaimana konsumen mau bayar kalo unitnya nggak ada? Stress dong," terang Kuasa hukum Perkumpulan Komunitas Peduli Konsumen Meikarta Rudy Siahaan di depan Gedung Bank Nobu, Plaza Semanggi, Jakarta Selatan, Senin (19/12).
Bak buah simalakama, nasib konsumen Apartemen Meikarta malah makin sulit. Sederhananya, maju kena, mundur pun kena. Artinya, jika konsumen berhenti membayar, mereka mendapatkan ancaman dari bank mengenai kolektibilitas kredit.
Di sisi lain, jika konsumen terus membayar, maka konsumen bertaruh nasib uang yang mereka keluarkan bisa saja raib, mengingat tidak ada kejelasan mengenai penyelesaian proyek yang dibangun.
Praktisi Hukum Perumahan Joni Tanamas mengakui posisi konsumen Apartemen Meikarta memang sulit. Bahkan, cenderung serba salah. Sebab konsumen tak hanya berurusan dengan pengembang, tetapi juga dengan perbankan.
"Ini memang kompleks. Relasi konsumen ke developer (pengembang) dan konsumen ke bank pemberi KPA. KPA dengan bank tentu cicilannya harus jalan terus," kata Joni.
Memang, menurut Joni, konsumen bisa saja mengajukan setop bayar cicilan ke perbankan. Namun, proses yang harus dilewati cukup panjang.
Pertama-tama, konsumen harus mengajukan penundaan pembayaran dengan menyerahkan gugatan ke Pengadilan Negeri (PN). Dalam hal ini, PN harus memenangkan gugatan pembeli. Sebaliknya, jika gugatan itu kalah, maka perbankan berhak tetap menagih cicilan bulanan.
"Kalau soal cicilan bank, ya bisa digugat pembatalan perjanjian kredit karena objek apartemennya bermasalah. Caranya, ya gugat ke Pengadilan Negeri. Minta setop (pembayaran) bunga atau moratorium," jelasnya.
Langkah ini dinilai paling memungkinkan untuk dilakukan. Jika ingin pengembalian uang atau refund dari perbankan tidak akan bisa karena sudah diserahkan kepada developer sejak akad kredit dilakukan.
Konsumen juga tidak memiliki pilihan untuk menjual unit, karena apartemen belum rampung dan juga belum serah terima. Apartemen masih atas nama pengembang dan belum sah menjadi milik pembeli.
Kalaupun mau memaksakan untuk tidak membayar cicilan kredit, maka konsumen yang akan rugi. Sebab, uang yang selama ini sudah masuk bisa hangus, sehingga solusi penundaan pembayaran dengan gugatan ke PN memang paling aman saat ini.
"Jika mau kuat-kuatan, ya nggak usah bayar KPA. Tapi sudah ada cicilan masuk yang relatif besar dan ada yang segera lunas bahkan sudah lunas," imbuhnya.