Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengatakan ekonomi Indonesia sekarang ini sedang 'terjebak ranjau'.
Posisi ini terjadi setelah Indonesia berhasil naik kelas dari negara berpendapatan rendah ke negara berpendapatan menengah pada era 1980-an lalu. Setelah naik kelas itu katanya, ekonomi Indonesia dan sejumlah negara di kawasan Asia Timur seperti Jepang, Hong Kong, Korea Selatan dan juga Asean seperti Singapura berhasil berkembang luar biasa.
"Pada 1980,1990, sebuah miracle dari Asia Timur termasuk Asean terjadi. Indonesia menjadi champion, orang melihat perkembangan luar biasa," katanya pada puncak Indonesia Development Forum pada Senin (21/12) lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tapi kata Suharso, perkembangan luar biasa itu terganjal oleh krisis moneter yang menerpa ekonomi Indonesia pada 1997-1998 lalu. Karena masalah itu, ekonomi Indonesia terjerembab lagi ke negara berpendapatan kelas rendah.
Indonesia memang berhasil bangkit kembali ke negara berpendapatan kelas menengah pada 2002. Bahkan, Indonesia berhasil naik ke level negara berpendapatan menengah atas.
Tapi setelah itu, posisi kelas ekonomi Indonesia macet. Indonesia gagal naik ke level negara berpendapatan kelas atas.
"Secara rule of thumb, harusnya dalam waktu 1-28 tahun kita sudah naik kelas. Tapi ini sudah 29 tahun, kita masih tetap di posisi middle income. Karena itu kita dikatakan terjebak di middle income trap. Hal ini beda dengan negara tetangga kita yang lebih cepat 18 sampai 20 tahun," katanya.
Suharso mengatakan pihaknya telah mengidentifikasi penyebab Indonesia bisa terjebak terlalu lama dalam negara pendapatan kelas menengah, yaitu; kurang berkembangnya industri di dalam negeri terutama manufaktur.
"Industri, terutama manufaktur memang menjadi instrumen utama yang harus digunakan untuk bisa berkembang," katanya.
Segendang sepenarian dengan Suharso, Direktur Growth Lab Harvard Profesor Ricardo Hausmann mengatakan kalau Indonesia mau tumbuh bagus dan lepas dari jeratan jebakan kelas menengah, pemerintahnya harus bekerja keras menggenjot kinerja sektor manufaktur.
Ia mengatakan sebelum badai krisis ekonomi menerpa sejumlah negara di kawasan Asia termasuk Indonesia beberapa tahun lalu, pertumbuhan Indonesia bersama dengan sejumlah negara di Asia Tenggara seperti Thailand, Malaysia sebenarnya cukup mantap.
Saat itu pertumbuhan yang mantap memang didukung perkembangan industri manufaktur yang solid. Berdasarkan data yang dipaparkannya bahkan, produktivitas buruh sektor manufaktur saat itu 3 kali lebih tinggi jika dibandingkan dengan pertanian dan 2 kali lebih tinggi dibanding sektor jasa.
Karena produktivitas itu, keranjang ekspor Indonesia yang pada 1965 nilainya masih US$165 juta dan 37,50 persennya didominasi oleh ekspor bahan mentah, 36,61 persen bahan bakar dan 15,95 persen lainnya dalam bentuk makanan berhasil meningkat 250 kali lipat menjadi US$168 miliar pada 2019.
Komoditas ekspor pun sudah beragam. Termasuk dari sektor manufaktur yang proporsinya 15,11 persen dan permesinan dan kendaraan yang proporsinya 15,4 persen.
Tapi sayang katanya, meskipun sempat tumbuh cepat, kecepatannya masih kalah dibanding negara lain. Hausmann mengatakan masalah itu bisa terjadi karena transformasi ekonomi yang dilakukan Indonesia berjalan lambat.
Hal itu tambahnya, merupakan imbas dari lemahnya daya kreasi industri manufaktur Indonesia.
Lihat Juga : |
Fakta ini bisa dilihat dari jumlah produk baru yang dihasilkan dari industri manufaktur di Indonesia. Data yang ia miliki berdasarkan analisis keunggulan komparatif pada periode 1990-2000 dan 2013-2015, produk baru yang dihasilkan dari sektor industri manufaktur di Indonesia hanya 15 dengan nilai yang dihasilkan US$7 miliar.
Hal itu kalah jika dibandingkan dengan daya cipta produk baru yang dihasilkan oleh industri manufaktur di Vietnam yang mencapai 44 dengan nilai US$122 miliar, Malaysia 30 dengan nilai US$12 miliar dan China yang 28 dengan nilai US$68 miliar pada periode yang sama.
Dengan fakta itu katanya, tidak mengherankan jika kemudian pangsa pasar ekspor Indonesia kalah dibandingkan dengan negara lain. Pada era 1960, pangsa ekspor Indonesia masih banyak didominasi garmen.
Lalu Indonesia mulai berhasil menambah produk elektronik. Tapi peningkatan ekspor elektronik Indonesia masih kalah dibandingkan dengan Hong Kong, Korea Selatan, China.
"Korea Selatan, awalnya sama-sama tekstil. Kemudian masuk elektronik dan mesin. Dalam proses itu mereka meninggalkan sebagian tekstil menuju elektronik. Thailand dari tekstil sangat cepat ke elektronik dan meninggalkan tekstil, Malaysia dan China juga. Tapi Indonesia pangsa tekstil hingga saat ini masih mendominasi. Ini menunjukkan transformasi tidak secepat tempat lain," katanya.
Lihat Juga : |
Masih miliki peluang
Hausmann mengatakan Indonesia masih punya peluang untuk berkembang cepat melalui pengembangan industri manufaktur. Peluang dimiliki terkait kekayaan alam Indonesia yang melimpah.
Salah satunya cadangan nikel. Ia mengatakan cadangan nikel Indonesia cukup besar. Di tengah upaya dunia melakukan dekarbonisasi yang kemudian memunculkan tren baru lahirnya pengembangan industri kendaraan listrik, industri baterai Indonesia bisa sangat potensial.
"Produksi nikel di seluruh dunia akan tumbuh hingga 200 persen, ini merupakan input penting bagi produksi baterai di Indonesia," katanya.
Perkembangan itulah katanya yang harus dimanfaatkan Indonesia untuk menggenjot ekonomi.
Setuju dengan Hausmann, Mantan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengatakan nikel memang memberikan potensi besar bagi Indonesia untuk berkembang.
Hanya saja, pemerintah Indonesia katanya tidak boleh lengah dengan kekayaan itu. Artinya, nikel tidak boleh hanya digali dan dijual secara mentah saja tanpa diolah.
Indonesia kata Bambang harus punya pabrik pengolahan nikel dan menguasai teknologi pengolahannya supaya ke depan bahan tambang itu bisa disulap menjadi produk bernilai ekonomi tinggi, seperti baterai mobil listrik.
"Mumpung kita punya nikel, manfaatkan sebagai aji mumpung. Jangan hanya gali nikel dan jual nikel, tidak boleh. Tingkatkan kompleksitas produk nikel mulai dengan feronikel, smelter menghasilkan feronikel," katanya.
"Kalau bisa Indonesia jadi salah satu produsen produk nikel paling komplek. Entah itu mengolahnya jadi stainless steel. Stainless steel selain komplek itu menunjukkan Indonesia bisa improve basic metal. Untuk jadi negara maju, Indonesia butuh industri logam dasar yang kuat," katanya.