Jakarta, CNN Indonesia --
Nelayan mengaku tak diajak bicara soal rencana pembatasan penangkapan ikan berbasis kuota yang bakal diterapkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada Januari 2023.
Sekretaris Jenderal Serikat Nelayan Indonesia (SNI) Budi Laksana menegaskan pemerintah perlu payung hukum yang jelas jika ingin memberlakukan pembatasan kuota penangkapan ikan.
"Terlalu terburu-buru dan saya kira kalau ditanya ke nelayan yang biasa menangkap (ikan), mereka gak tahu juga bagaimana sistem kuota segala macam," tegas Budi kepada CNNIndonesia.com, Selasa (27/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rencana yang dilontarkan Menteri KKP Sakti Wahyu Trenggono dianggap masih perlu waktu sosialisasi. Budi menekankan Januari 2023 bukan pilihan tepat untuk merealisasikan aturan baru tersebut.
Permasalahan soal definisi kuota penangkapan ikan hingga bagaimana para nelayan memenuhi kuota tersebut dianggap belum jelas. Ketidakjelasan ini bahkan menimbulkan spekulasi nelayan dilarang menangkap ikan.
Simpang siur yang muncul menimbulkan kekhawatiran dalam kelompok nelayan di seluruh Indonesia, termasuk ancaman kehilangan mata pencaharian.
"Selama ini SNI tidak pernah diajak komunikasi yang seperti itu. Teman-teman juga khawatir. Jadi di daerah itu bertanya bagaimana kuota tadi. Lalu kalau kami nganggur, kami mau makan apa nanti? Itu kan pertanyaan sederhana yang sebenarnya harus dijawab sebelum (aturan) itu dilaksanakan," jelas Budi.
Ada empat poin utama yang dipertanyakan SNI. Pertama, belum ada kejelasan dan keterangan rinci seperti apa pembatasan penangkapan ikan berbasis kuota. Kedua, aturan main di mana kalaupun benar ada pembatasan maka harus diikuti dengan penegakkan hukum terhadap pelanggar.
Ketiga, kuota tersebut secara rinci diberikan kepada siapa dan berapa besarannya. Budi mempertanyakan apakah nelayan, kelompok nelayan, dan pengusaha bakal mendapatkan kuota yang sama. Jika benar, ini mencerminkan ketidakadilan di mana pengusaha besar diberikan kuota yang sama dengan nelayan kecil.
Keempat, siapa yang bakal mengeluarkan aturan pembatasan kuota tersebut. Apakah KKP, Kemenko Bidang Maritim dan Investasi, atau ada badan khusus yang ditunjuk oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"Selama ini kementerian punya data, badan itu (Komisi Nasional Kebijakan Penangkapan Ikan) punya data, lalu yang mau kami rujuk yang mana? Jadi itu tadi yang mengeluarkan data kalau bisa datanya harus tunggal yang menjadi rujukan sehingga jelas kalau mau terukur segala macam," ujarnya Budi.
Bersambung ke halaman berikutnya...
Khawatir Keluar Uang Tambahan
Budi juga mengatakan soal kemungkinan nelayan yang harus mengeluarkan uang untuk bisa menangkap ikan dengan sistem kuota tersebut.
Senada, Wakil Ketua Umum DPP Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Sugeng Nugroho menyinggung soal uang yang harus dibayar nelayan untuk mendapatkan kuota penangkapan ikan.
"Kabar yang kami dengar untuk mendapatkan kuota harus membayar uang yang cukup besar. Ini saya rasa sangat tidak bisa dipenuhi bagi nelayan kecil atau tradisional," kata Sugeng.
Sugeng mengatakan perlu ada penyeimbang antara kepentingan ekonomi dan ekologi supaya ada keberlanjutan sumber daya perikanan Indonesia.
Ia meminta pemerintah untuk memastikan bagaimana penerapan penangkapan ikan berbasis kuota ini tidak menjadi beban bagi nelayan tradisional.
"Itu kabar yang sudah diketahui banyak nelayan bahwa untuk mendapatkan kuota harus membayar uang sebesar kuota yang ditentukan. Dalam hal ini KNTI tidak dilibatkan secara khusus, namun dalam diskusi-diskusi dengan Dirjen Perikanan Tangkap sering diungkapkan," jelasnya.
Di lain sisi, Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati mengatakan langkah KKP perlu diapresiasi jika memang misinya untuk mendorong keberlanjutan.
Namun, ada hal yang menjadi sorotan soal bagaimana mekanisme pembatasan penangkapan ikan melalui kuota. Susan khawatir ini malah menjadi jalan masuk kapal-kapal asing untuk melakukan penangkapan ikan di laut RI.
"Analoginya sederhana, kalau misalkan di Maluku itu diterapkan kuota yang berlebihan terus tidak mencapai target, apakah itu tidak menutup kemungkinan ada penyelundupan dari daerah-daerah lain yang kemudian dianggap over exploited untuk menutupi kuota tersebut," tanya Susan curiga.
Menurutnya, sistem penetapan kuota ini mirip dengan kasus pembatasan penangkapan lobster. Susan ingat betul bagaimana KKP menetapkan kuota ekspor benih lobster yang malah berujung kasus korupsi.
"Ini yang kemudian menjadi tantangan KKP, bisa gak mereka menjawab permasalahan dasar yang kemudian tidak tercerminkan dalam kebijakan ini," tegasnya.
Sebelumnya, Menteri KKP Sakti Wahyu Trenggono mengatakan program penangkapan ikan terukur dilakukan agar populasi perikanan di laut Indonesia bisa terjaga dengan baik.
Trenggono menyebut kebijakan pembatasan ini sudah berlaku di negara-negara lain, tetapi Indonesia terlambat. Aturan baru ini diharapkan berlaku mulai Januari 2023 meski masih menunggu restu Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"Bagaimana program penangkapan ini bisa dijalankan, ada tiga kuota yang harus dipahami. Yang pertama adalah kuota jumlah yang akan diberikan kepada pelaku penangkap ikan. Kedua, adalah kuota yang diberikan kepada masyarakat lokal atau pesisir di situ. Ketiga, adalah kuota untuk hobi," rinci Trenggono dalam Bincang Bahari Edisi Spesial, Senin (26/12).
Sementara itu, Dirjen Perikanan Tangkap KKP Muhammad Zaini sempat menyinggung soal uang yang harus dikeluarkan oleh para penangkap ikan dalam implementasi penangkapan ikan terukur.
Penangkapan ikan terukur bakal dilaksanakan sejalan dengan penarikan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Pungutan Hasil Perikanan (PHP) pascaproduksi.
Tarif PNBP yang dibayarkan pemilik kapal penangkap ikan sesuai dengan jumlah ikan yang didaratkan di pelabuhan perikanan.
"Kami tarik PNBP-nya setelah kapal perikanan berproduksi. Formula penghitungannya lebih sederhana, dari indeks tarif tergantung jumlah dan jenis ikan yang didaratkan di pelabuhan perikanan dan harga jualnya," katanya pada Agustus 2022, dikutip dari situs resmi KKP.
Pada Maret lalu, Menteri KKP mengatakan PNBP yang didapat bisa menembus Rp12 triliun dalam setahun apabila peraturan penangkapan ikan terukur berbasis kuota sudah berjalan optimal.
[Gambas:Photo CNN]
Mengutip Antara, KKP membatasi penangkapan sumber daya ikan di seluruh wilayah Indonesia sebanyak 6 juta ton per tahun dari total 12 juta ton yang tersedia.
Trenggono menggambarkan apabila setiap kilogram ikan bernilai Rp20 ribu dan PNBP yang diterima KKP sebesar 10 persen, maka potensi penerimaan negara dari kegiatan penangkapan ikan terukur mencapai Rp12 triliun per tahun.
Penangkapan ikan terukur bakal dilakukan pada 6 zona di 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI).
Setiap kapal yang ingin menangkap ikan di wilayah perairan Indonesia harus terdaftar dan diperbolehkan mengambil sumber daya ikan sesuai kontrak yang telah ditetapkan.
Untuk setiap hasil tangkapan ikan dikenakan PNBP, kecuali kuota penangkapan ikan oleh nelayan tradisional yang tidak dikenakan PNBP sama sekali.
[Gambas:Video CNN]