ANALISIS

Mal-Mal Metropolitan Riwayatmu Kini

CNN Indonesia
Rabu, 11 Jan 2023 07:25 WIB
Beberapa mal di DKI Jakarta mulai sepi pengunjung, seperti Mal Blok M, selain karena bersaing dengan e-commerce, pandemi juga membuat mal tersebut sepi.
Beberapa mal di DKI Jakarta mulai sepi pengunjung, seperti Mal Blok M, selain karena bersaing dengan e-commerce, pandemi juga membuat mal tersebut sepi. (CNN Indonesia/Andry Novelino).

Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja membenarkan kondisi tersebut. Menurutnya, mal-mal sepi tak hanya terjadi di Jakarta tapi juga kota-kota besar lainnya.

Ia mengatakan pusat perbelanjaan akan terus sepi jika hanya mengandalkan fungsi belanja. Apalagi sekarang sudah ada e-commerce yang memudahkan masyarakat belanja. Sebab itu, pusat perbelanjaan harus dapat menambahkan fungsi lain dari sekedar sebagai tempat berbelanja.

Menurutnya, mal harus dapat menyediakan atau memberikan pengalaman kepada para pelanggannya, seperti fasilitas untuk berkumpul baik bersama keluarga, sanak saudara, teman, kolega, komunitas, dan lain sebagainya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Masih banyak pusat perbelanjaan yang mampu dan telah berhasil memberikan fungsi lain dari sekedar fungsi belanja saja sehingga diminati dan banyak dikunjungi oleh masyarakat bahkan tingkat kunjungannya telah mencapai 100 persen," katanya.



Menanggapi kondisi mal-mal yang mulai sepi, Ekonom Core Indonesia Yusuf Rendy Manilet membenarkan pernyataan Alphonzus itu. Ia mengatakan ada juga beberapa yang mal masih ramai karena menyediakan fasilitas berbelanja yang relatif lengkap.

Umumnya, jelas Yusuf, masyarakat lebih cenderung untuk berkunjung karena mereka ingin merasakan atau menikmati tidak hanya berbelanja, tetapi juga menggunakan fasilitas yang tersedia. Fasilitas yang ia maksud mulai dari untuk menonton film, makan, hingga konser atau panggung musik.

"Fasilitas inilah yang umumnya berada di mal yang saat ini relatif masih ramai dikunjungi," katanya.

Dengan kata lain, mal yang saat ini sepi belum bisa menyediakan fasilitas-fasilitas tersebut sehingga kalah saing. Ia menuturkan faktor lain yang membuat beberapa mal sepi adalah persaingan dengan ecommerce.

Menurutnya, konsumen bisa mendapatkan harga yang lebih murah ketika berbelanja online dibandingkan berbelanja secara luring. Tak hanya itu, pembatasan semasa pandemi pun memperkuat orang untuk semakin memilih belanja secara online.

"Di samping itu kita juga tahu berbelanja secara online cenderung efektif dan tidak memakan waktu karena konsumen tidak perlu meluangkan waktu untuk berpergian ke suatu tempat," imbuh Yusuf.

Terkait lokasi, menurutnya hal itu tidak menentukan mal bisa ramai atau sepi. Hal ini juga terbukti pada Mal Blok M, meski strategis pusat perbelanjaan itu tetap saja sepi.

Melihat kondisi ini, Yusuf mengingatkan bahwa pemerintah sebenarnya mendorong kunjungan masyarakat ke mal. Caranya dengan mengembalikan daya beli masyarakat di semua kelompok golongan pendapatan.

Menurutnya, pemerintah perlu mendorong pendapatan masyarakat terutama menengah ke bawah di tahun ini dan tahun-tahun setelahnya. Hal ini akan ikut menentukan bagaimana proses peningkatan daya beli masyarakat terjadi di tahun ini dan juga tahun-tahun setelahnya. Selain pemerintah, pengelola mal juga perlu berinovasi untuk meningkatkan kunjungan.

"Pengalaman berbelanja di mal diperlukan untuk menarik kembali konsumen berkunjung, bentuk inovasi diantaranya misalnya adanya pengalaman berbelanja yang unik," ujar Yusuf.

Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menuturkan sebelum adanya pandemi, penjualan pakaian jadi cenderung melambat sehingga mal yang tenant-nya banyak menjual produk fashion ikut terdampak.

Setelah pelonggaran pun konsumsi pakaian jadi hanya tumbuh 4,4 persen di kuartal III 2022, lebih rendah dari total pertumbuhan konsumsi rumah tangga yakni 5,39 persen.

Ia juga memaparkan beberapa faktor yang membuat mal sepi meski pembatasan covid-19 sudah dicabut. Pertama, kenaikan biaya hidup akibat inflasi membuat masyarakat rem belanja kebutuhan sekunder dan primer, dan cenderung fokus pada pemenuhan belanja makanan minuman.

Kedua, persaingan mal baru cukup ketat sehingga konsumen dengan mudah meninggalkan mal lama dan beralih ke mal baru, terutama di pinggiran Jakarta. Ketiga, mal yang bertahan adalah mal dengan tempat rekreasi dan pusat kuliner.

"Mal jadi tempat hiburan keluarga dibanding belanja barang barang luxury," imbuh Bhima.

Keempat, biaya sewa tempat di mal juga mempengaruhi keputusan tenant. Menurut Bhima, semakin tua mal tapi harga sewanya mahal, maka mal itu akan ditinggal tenant. Kelima, pilihan belanja semakin banyak, akibatnya banyak mal tua beralih jadi gudang sementara penjualan dilakukan di ecommerce.

"Ini hanya sebagian fenomena kecil pada mal mal tua seperti Glodok, Mangga Dua, dan Tanah Abang," sambung Bhima.

Lebih lanjut, ia mengatakan harus ada kerja sama pemerintah daerah (Pemda) dan pengelola mal untuk membuat berbagai event, tujuannya agar pengunjung datang dan belanja.

Kemudian, aktivasi mal tua juga bisa dilakukan dengan menggandeng investor. Hal ini dilakukan untuk renovasi total dan mengubah konsep mal, misalnya dari pusat fashion jadi pusat kuliner, sehingga kunjungan bisa meningkat.

Bhima menambahkan pemerintah pusat dan daerah juga bisa memberikan banyak insentif pajak agar sewa tenant jadi lebih terjangkau.



(mrh/dzu)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER