Rencana pemerintah untuk mempercepat pengesahan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) ternyata tak berjalan mulus. Ada berbagai penolakan dan keraguan terhadap aturan yang sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2023.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah berkali-kali menekankan bahwa RUU PPRT ini dibuat untuk melindungi pekerja rumah tangga (PRT). Di mana beleid tersebut akan menjadi landasan dalam mengatur dan mengelola masalah ketenagakerjaan pekerja domestik.
"Dengan adanya UU PPRT ini, persoalan-persoalan terkait pekerja domestik ini dapat kita selesaikan dan memiliki dasar hukum yang sangat jelas," ujarnya saat menerima audiensi Komnas HAM pekan lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Ida, kolaborasi dalam memberikan perlindungan terhadap PRT harus dimulai dari hulu, dengan begitu hilir pasti akan mengikuti. Soal perlindungan ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pekerja sektor domestik.
Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro mendukung penuh komitmen pemerintah untuk melakukan percepatan pengesahan RUU PPRT menjadi UU.
"Komnas HAM memberi perhatian terhadap kelompok-kelompok rentan dan marginal yang memiliki potensi kuat terhadap pelanggaran hak asasi manusia, baik hak ekonomi sosial budaya maupun hak sipil dan politik," katanya.
Rancangan beleid ini memang sudah digagas sejak 2022 oleh kelompok PRT dan sudah sering dibahas. Namun pembahasan itu tak pernah berhasil menjadi undang-undang.
Karenanya, saat Presiden Jokowi menyampaikan keinginan agar RUU PPRT segera disahkan, banyak PRT yang merasa bersyukur.
Sayangnya, RUU PPRT ini dikabarkan hanya mengatur namun tidak mewajibkan pemberi kerja alias majikan untuk mentaatinya. Bahkan tak ada sanksi baik perdata maupun pidana jika aturan perlindungan dilanggar.
Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar mengatakan bila benar tidak ada sanksi yang diberikan dalam RUU ini, maka sama saja bohong atau bisa disebut hanya sebagai formalitas untuk mengesahkan aturan yang sudah didorong sejak puluhan tahun lalu.
"Kalau hanya mengatur dan tidak ada sanksi, nggak akan memberi efek perlindungan itu sendiri. Kata perlindungan akan jadi hambar, karena bagaimana kalau saya nggak bayar upah? bagaimana kalau saya tidak memberikan libur? Jadi itu perlindungan identik dengan sanksi," ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Senin (30/1).
Menurut Timboel, setidaknya perlindungan yang didapatkan PRT dalam negeri setidaknya sama dengan yang diterima pekerja migran Indonesia (PMI). Jika ada majikan yang melanggar, misalnya tidak memberikan gaji dan jam kerja sampai 24 jam, maka diberikan sanksi.
"Di luar aja PMI dilindungi sanksi, tapi di dalam nggak di dilindungi kan nggak adil," imbuhnya.
Selain sanksi, ia menilai hal yang perlu diberikan kepada PRT dalam negeri untuk melindunginya adalah wajib jaminan sosial kesehatan. Misalnya, jamsoskes 5 persen dari gaji, maka bisa 4 persen ditanggung oleh majikan dan 1 persen dibebankan ke PRT.
Dengan demikian, saat PRT mengalami kecelakaan dalam melakukan pekerjaan, maka ia memiliki BPJS Kesehatan untuk digunakan. Sebab,kecelakaan kerja juga bisa terjadi pada PRT.
"Harusnya bisa seperti melindungi pekerja migran, wajib dapat JKK (Jaminan Keselamatan Kerja) dan JKN (Jaminan Kesehatan Nasional). Kan kita nggak tahu kalau dia memotong bawang terus kena pisau kan, itu contohnya," jelasnya.