Jakarta, CNN Indonesia --
Badai pemutusan hubungan kerja (PHK) di e-commerce masih berlanjut imbas ekonomi lesu. Tak hanya PHK, e-commerce JD.ID bahkan harus gulung tikar di awal tahun ini.
JD.ID merupakan perusahaan patungan e-commerce China JD.com dan Provident Capital. Marketplace ini resmi menutup layanan belanja online mereka per 31 Maret 2023, dan melayani pesanan terakhir pada 15 Februari 2023.
Sebelum mengumumkan akan menutup layanannya, JD.ID menutup cabang logistiknya JDL Express Indonesia per 22 Januari 2023. Perusahaan juga melakukan PHK secara bertahap.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada Desember 2022, JD.ID melakukan PHK kepada 30 persen atau 200 karyawannya. Langkah PHK ini bukan yang pertama. Perusahaan juga mengambil langkah serupa pada Mei di tahun yang sama.
Selain JD.ID, PT Shopee Indonesia juga memangkas jumlah karyawannya pada September tahun lalu.
Head of Public Affairs Shopee Indonesia Radynal Nataprawira menjelaskan PHK merupakan langkah terakhir yang harus ditempuh perusahaannya sebagai efisiensi, setelah sebelumnya melakukan penyesuaian melalui beberapa perubahan kebijakan bisnis.
Senada, PHK juga dilakukan PT Goto Gojek Tokopedia Tbk atau GoTo terhadap 12 persen dari total karyawannya atau sebanyak 1.300 orang.
PHK dilakukan agar perusahaan lebih agile atau lincah dan bisa menjaga tingkat pertumbuhan, sehingga terus memberikan dampak positif bagi jutaan konsumen, mitra pengemudi, dan pedagang.
Menanggapi gempuran PHK yang terus terjadi di perusahaan e-commerce, Peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios) Muhammad Andri Perdana mengatakan pendanaan yang seret menjadi alasan kuat mengapa para e-commerce goyah.
Andri menegaskan investor sudah semakin selektif dan kini beralih ke instrumen investasi yang lebih aman ketimbang harus menyuntikkan dana ke e-commerce. Dengan alasan itu, Andri melihat promo e-commerce saat ini sangat terbatas.
"Di saat pertumbuhan e-commerce meredup, sedangkan return obligasi negara, seperti US Treasury meningkat padahal tingkat resikonya jauh lebih rendah, maka sekarang e-commerce kesulitan mendapatkan dana segar dari investor. Mau mendapatkan pendanaan dari bank pun juga mahal karena suku bunga ikut meningkat," jelasnya kepada CNNIndonesia.com, Rabu (1/2).
Selain masalah pendanaan, minimnya promo dan persaingan antar e-commerce juga menjadi penyebab runtuhnya satu per satu bisnis belanja online tersebut.
Andri menilai meningkatnya mobilitas masyarakat setelah pencabutan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) di seluruh wilayah Indonesia pada akhir Desember 2022.
Menurutnya, banyak konsumen yang akhirnya kembali berbelanja di toko konvensional ketimbang check out di e-commerce. Apalagi, semenjak suntikan dana terhadap e-commerce seret, para marketplace tersebut kini minim promo.
Ia menilai daya beli masyarakat juga belum pulih sepenuhnya karena inflasi tidak dibarengi kenaikan pendapatan rumah tangga.
Kondisi ini pada akhirnya membuat masyarakat lebih memilih pilihan yang lebih ekonomis dengan belanja di toko konvensional, meninggalkan e-commerce. Terlebih, Andri menilai sekarang e-commerce semakin dituntut untuk mengurangi kerugian.
"Sehingga sekarang banyak e-commerce menambah biaya admin dan potongan penjualan kepada penjual. Biaya ini biasanya oleh penjual akan dibebankan ke pembeli yang membuat harga-harga di e-commerce semakin tidak ekonomis bagi pembeli," jelasnya.
Terkait persaingan e-commerce yang semakin ketat. Ia menilai hadirnya social commerce seperti TikTok Shop yang viral belakangan ini dengan istilah "keranjang kuning", juga menjadi pesaing marketplace.
Ia menjelaskan pasar e-commerce Indonesia banyak beririsan dengan platform media sosial. Namun, platform media sosial seperti Facebook hingga TikTok terus berinovasi menghadirkan layanan belanja online milik mereka masing-masing.
Oleh karena itu, Andri menyarankan e-commerce mengambil langkah tepat dalam menjaga pasar. Tujuannya agar para pengguna tetap menggunakan platform belanja online mereka.
"Seperti memberikan insentif bagi penyebar link produk di sosial media atau bahkan memperkuat positioning mereka pada segmen-segmen yang menjadi target sehingga pengguna sosial media tetap mengandalkan e-commerce tersebut untuk membeli barang," tandasnya.
Di lain sisi, Direktur Indonesia Development and Islamic Studies (IDEAS) Yusuf Wibisono menyoroti secara khusus soal badai PHK di industri startup, termasuk e-commerce. Ia memproyeksi PHK di industri digital masih berpeluang besar berlanjut di tahun ini.
Bagi perusahaan mapan, Yusuf menilai kemunduran usaha mereka banyak disebabkan aksi over ekspansi di masa pandemi. Memang permintaan terhadap produk dan jasa digital melonjak drastis pada saat itu, sehingga banyak perusahaan digital merekrut tenaga kerja secara besar-besaran.
Sayang, seiring dengan penghapusan berbagai pembatasan sosial selepas pandemi membuat permintaan terhadap produk dan jasa digital menurun. Pada akhirnya PHK e-commerce tidak bisa dihindari.
Sementara itu, Yusuf merinci tiga faktor PHK di startup digital yang banyak mengandalkan pembiayaan non-bank. Pertama, model bisnis yang tidak solid. Kedua, persaingan yang semakin keras. Ketiga, dukungan pendanaan yang melemah seiring pengetatan moneter dunia dan berakhirnya era suku bunga rendah.
Ia juga menyinggung soal fenomena 'bakar uang' di dunia startup. Menurutnya, strategi tersebut jika tidak kunjung menghasilkan revenue dan profit memadai hanya akan berujung terhentinya kucuran dana dari investor.
"Akibatnya startup banyak yang mulai berhenti melakukan strategi 'bakar uang' untuk akuisisi konsumen, melakukan efisiensi seperti PHK karyawan, bahkan tidak sedikit yang mengalami kebangkrutan," jelasnya.
Yusuf menegaskan bahwa persaingan memperebutkan pasar semakin keras dan akuisisi konsumen tidak lagi bisa hanya mengandalkan promo dan diskon. Sementara penyedia dana tidak lagi memiliki keleluasaan seiring kenaikan suku bunga dan likuiditas yang semakin ketat.
Ketua Umum Indonesian E-Commerce Association (iDEA) Bima Laga merespons fenomena tersebut dengan menegaskan PHK tidak hanya terjadi di sektor digital.
Khusus untuk JD.ID, Bima menilai perusahaan membandingkan antara effort dan benefit jika harus terus menjalankan bisnis tersebut.
Bima mengatakan jika masih lebih besar effort, wajar bagi perusahaan memilih menyetop sementara atau bahkan permanen layanan mereka sebagai bagian dari efisensi. Salah satu pertimbangannya adalah menjaga keuntungan bisnis perusahaan.
"Sebagai pengusaha di top management, dengan semua isu mereka harus berpikir ini profit perusahaan harus dijaga, sustainable perusahaan juga harus dijaga. Caranya bagaimana? Salah satunya adalah memprioritaskan, memilah layanan bisnis mana yang sekiranya masih menjanjikan. Effortnya tidak terlalu besar, tetapi menjadi salah satu kekuatan mereka," katanya.
Bima mengungkap bahwa perdagangan ekonomi digital melalui e-commerce di 2022 sebenarnya tetap tumbuh, meski slowing alias melambat.
Namun, ia membantah jika perlambatan tersebut disebabkan oleh pencabutan PPKM. Pasalnya, PPKM baru dicabut di akhir tahun, bukan pertengahan apalagi awal 2022.
Ada dua faktor besar yang menurut Bima berpengaruh terhadap perlambatan perdagangan ekonomi digital tahun lalu.
Pertama, inflasi Indonesia yang meroket sejak harga BBM naik pada September 2022 lalu.
Menurut data iDEA, inflasi yang lebih tinggi terjadi di luar Pulau Jawa. Padahal, menurutnya pertumbuhan transaksi e-commerce sangat dipengaruhi oleh promo ongkos kirim (ongkir).
"Jadi promo ongkir itu menjadi salah satu pertimbangan utama orang-orang belanja online, bukan diskon, bukan barang murah, tapi ongkir. Dengan inflasi di luar Pulau Jawa yang tinggi, otomatis mempengaruhi minat orang belanja online," ungkapnya.
Kedua, isu resesi global bergulir menjelang akhir 2022. Bima menegaskan badai PHK terjadi di kisaran Oktober hingga Desember. Banyaknya PHK di semua sektor industri amat mempengaruhi kegiatan ekonomi.
Menurutnya, masyarakat Indonesia memperhatikan isu yang beredar. Hal tersebut yang pada akhirnya membuat masyarakat menahan keinginan belanja online.
Bima lantas membedah beberapa keluhan konsumen atau analisis pengamat yang menilai promo e-commerce saat ini kurang menarik hingga biaya layanan yang tinggi.
Menurutnya, dua faktor perlambatan perdagangan digital tahun lalu sangat berpengaruh kepada kebijakan yang diambil perusahaan.
"Dari riset kami, promo yang paling menarik konsumen adalah promo ongkir. Dengan BBM yang sekarang harganya masih tinggi, mau gak mau ongkirnya naik," tuturnya.
Soal biaya layanan yang dianggap terlalu tinggi, Bima menjelaskan bahwa perusahaan digital, termasuk e-commerce harus berinvestasi di teknologi. Ia menegaskan teknologi adalah hal dinamis yang berubah dengan cepat, bahkan dalam hitungan detik.
[Gambas:Photo CNN]
Ia mencontohkan fenomena viral belakangan ini di mana orang-orang berjualan melalui fitur live streaming. Bima menegaskan penjual tidak mungkin bisa melakukan hal tersebut jika platform e-commerce belum memiliki fitur dan teknologi yang memadai.
Persaingan dan kejar-kejaran antarplatform e-commerce terus berlangsung setiap saat. Tidak hanya bersaing dengan kompetitor lokal, Bima menyebut e-commerce perlu melek dengan apa yang terjadi secara global.
"Mau gak mau mereka kejar terus. Investasi itu tinggi. Sekarang mereka harus berinvestasi di teknologi, ada pekerja yang juga mereka harus gaji, ditambah digital talent Indonesia itu masih fakir," jelas Bima.
Menurutnya, masih sedikit orang Indonesia yang mahir di dunia digital. Dengan begitu, jabatan menengah ke atas di perusahaan digital kerap diisi dengan sistem hijack dari perusahaan lain. Konsekuensinya biaya yang harus ditanggung perusahaan membengkak.
Belum lagi bicara soal festival angka kembar, seperti hari ini 2 Februari alias 2.2 di mana perusahaan harus mengeluarkan insentif, diskon, promo ongkir, hingga promo-promo lainnya untuk menarik minat pembeli. Bima menegaskan hal tersebut terjadi berkat kerja sama platform dengan penjual.
Terkait fenomena 'bakar uang' dan salah perhitungan yang dianggap sebagai biang kerok e-commerce banyak merugi hingga gulung tikar, Bima tidak sepenuhnya setuju. Namun, ia tak menampik bahwa ada dana lebih yang perlu dikeluarkan untuk memperkenalkan sesuatu hal yang tergolong baru ini.
"Ketika kami menawarkan sesuatu dengan industri baru, menarik minat konsumen, mau gak mau kami 'bakar uang'. Entah itu dengan cara beriklan atau memberi insentif ke merchant. Itu sesuatu yang lumrah. Salah perhitungan? Belum tentu juga," ujarnya.
Ia menyoroti kemungkinan isu yang tiba-tiba muncul di luar prediksi perusahaan hingga tingkat kematangan pasar digital Indonesia yang dianggap belum seperti di luar negeri.
Bima mencontohkan masyarakat di luar negeri yang belanja online tidak hanya untuk mencari barang murah, melainkan produk berkualitas. Sedangkan konsumen di Indonesia masih perlu diedukasi agar tidak cuma mengejar barang murah. Ia menegaskan bahwa pendewasaan pasar digital RI juga perlu biaya yang tidak sedikit.
Meski begitu, Bima menegaskan bisnis e-commerce di Indonesia masih menjanjikan untuk masa mendatang.
Menurutnya, pengguna internet terus bertambah sehingga potensi menggaet konsumen baru masih terbuka. Hanya perlu dilakukan upaya untuk mengonversi pengguna internet tersebut menjadi konsumen e-commerce.
"Kalau bicara ke depan dengan jangkauan yang luas, kami (bisnis e-commerce) masih prospektif, prospeknya masih sangat bagus. Kalau bicara transaksi, menurut kami pasti masih akan tumbuh, tetapi tergantung dengan banyak faktor di ekonomi digital," jelas Bima.
"Potensi sekarang masih maksimal, tapi penambahan pengguna internetnya tidak signifikan. Namun, dari jumlah pengguna internet yang belanja online itu belum banyak, secara persentase juga masih rendah. Artinya potensinya masih besar, ditambah isu bonus demografi di mana mereka generasi baru melek digital," sambungnya.
iDEA juga menegaskan bahwa belanja online dan offline bakal berjalan berdampingan di masa normal baru setelah pandemi covid-19.
Namun, Bima menyebut bahwa toko-toko flagship kini sudah punya konsumen setia di e-commerce. Ditambah banyak promo yang menggiurkan ketimbang harus datang langsung ke toko offline tersebut.
[Gambas:Video CNN]