Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Izzudin Al Farras Adha mengungkapkan nilai manfaat dana haji bisa tergerus apabila porsi nilai manfaat yang digunakan untuk menanggung BPIH terus-terusan lebih besar dari Bipih yang ditanggung jemaah.
Apabila itu dibiarkan, hal itu bisa mengganggu keberlanjutan keuangan haji ke depan karena nilai manfaat yang sebenarnya diperoleh dari jemaah tunggu lebih banyak digunakan oleh jemaah berangkat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Artinya, nilai manfaat yang seharusnya untuk jemaah tahun-tahun berikutnya digunakan untuk jemaah tahun tersebut, sehingga nanti di masa mendatang lama-lama nilai manfaat itu justru tidak bisa terpakai lagi oleh jemaah akan datang sebab sudah terpakai di masa kini," ujar Izzudin kepada CNNIndonesia.com.
Namun, sambungnya, bukan berarti pemerintah bisa serta merta menaikkan porsi Bipih yang ditanggung jemaah tahun menjadi dua kali lipat dibandingkan tahun lalu seperti yang diusulkan Kementerian Agama (Kemenag).
"Menurut kami terlalu drastis," ujarnya.
Berdasarkan kajian pada awal 2022, lanjutnya, Indef mengusulkan sejumlah opsi agar keberlanjutan dana haji terjaga.
Lihat Juga : |
Pertama, Bipih naik 6 persen per tahun dengan asumsi nilai manfaat yang diperoleh tumbuh 8 persen per tahun. Artinya, BPKH harus berupaya meningkatkan imbal hasil (yield) investasi yang selama lima tahun terakhir maksimal hanya 6,88 persen.
Namun, menurut Izzudin upaya meningkatkan investasi juga menghadapi tantangan. Pasalnya, BPKH tidak bisa leluasa memilih instrumen investasi dengan risiko lebih tinggi karena terkendala ketentuan yang mewajibkan mereka menanggung renteng apabila investasi rugi.
Hal itu tertuang dalam Pasal 53 tahun Undang-undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji .
"Anggota badan pelaksana dan anggota dewan pengawas bertanggung jawab secara tanggung renteng terhadap kerugian atas penempatan dan/atau investasi Keuangan Haji secara keseluruhan yang ditimbulkan atas kesalahan dan/atau kelalaian dalam pengelolaanya," demikian bunyi Pasal 53 (1) UU 34/2014.
![]() |
Tak ayal, penempatan investasi BPKH cenderung pada instrumen berisiko rendah hingga sedang. Hal itu tercermin dari porsi penempatan deposito dan investasi tahun lalu.
Sepanjang tahun lalu, mayoritas dana haji ditempatkan pada Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) yakni Rp114,96 triliun dari total dana kelolaan, Rp167 triliun.
Sementara, sisanya tersebar di entitas asosiasi Rp1,3 triliun, investasi langsung dan investasi lainnya Rp779,06 miliar, investasi emas Rp425 jut dan deposito perbankan Rp48,96 triliun.
Kedua, Bipih naik 12 persen per tahun dengan asumsi yield investasi tumbuh 6,5 persen atau moderat. Ketiga, Bipih naik 18 persen per 3 tahun dengan asumsi yield imbal hasil naik 7,5 persen.
Jika menggunakan skenario tersebut maka kenaikan Bipih tahun ini tidak perlu sampai dua kali lipat.
Dengan skenario pertama, secara nominal, biaya perjalanan haji yang ditanggung jemaah tahun ini kenaikannya menjadi Rp42,27 juta atau 42,74 persen dari total BPIH yang diusulkan Kementerian Agama Rp98,89 juta.
Kemudian, skenario kedua, Bipih naik menjadi Rp44,66 juta atau 45,16 persen dari total BPIH.
Pada skenario ketiga, Bipih naik menjadi Rp47,06 juta atau 47,58 persen dari total BPIH. Namun, kenaikan Bipih baru akan terjadi setiap tiga tahun.
Sementara itu, Peneliti Senior Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah Universitas Indonesia (PEBS UI) Budi Prasetyo menjelaskan simulasi sederhana yang dilakukan pihaknya.
Jika pemerintah akhirnya bersepakat menggunakan skenario 55:45 dengan 55 persen dari BPIH ditanggung jemaah, maka keberlanjutan dana haji bisa mencapai 15 tahun dengan asumsi imbal hasil pengelolaan dana mencapai 10 persen.
Dengan skenario ini, jemaah diperkirakan harus membayar Rp54,4 juta, jika dikurangi Rp25 juta dari setoran awal, maka pelunasannya sebesar Rp29,4 juta.
Namun, jika pemerintah bersikukuh menggunakan perhitungan 70:30 dengan beban jemaah sebesar Rp69 jutaan, maka keberlanjutan dana haji itu bisa lebih panjang.
"Ini hitungan kasar kami jadi bisa saja overestimate atau underestimate," kata Budi dalam seminar daring, akhir Januari lalu.
Budi menjelaskan komponen pembagian nilai manfaat dan biaya perjalanan ibadah haji (Bipih) yang ditanggung jemaah ini sangat kompleks.
"Kita tentu ingin pembiayaan ini terus berlanjut jangka panjang sehingga sustainability dana haji itu berlanjut dan kita tidak terkena masalah keuangan yang signifikan," katanya.
Untuk itu, menurutnya, pemerintah perlu melakukan formulasi kebijakan yang tepat. Tidak hanya berkaitan dengan pembagian BPIH, namun juga investasi, efisiensi biaya, dan pengelolaan keuangan.
"Ini akan jadi PR besar agar dana haji yang dikelola bisa sustain dan memberikan manfaat yang besar," ucapnya.
Lebih lanjut, Ketua Komisi VIII DPR Ashabul Kahfi mengungkapkan besaran BPIH dan Bipih 2023 masih dikaji dan baru ditetapkan DPR dan pemerintah pada 14 Februari mendatang.
"Tanggal 14 Februari kita (komisi) tetapkan," ungkapnya lewat keterangan resmi.