Yusuf menjelaskan bekerja bagi sebagian besar penduduk miskin adalah keharusan untuk bertahan hidup, bukan bentuk partisipasi dan aktualisasi. Tekanan kemiskinan memaksa setiap orang miskin untuk selalu bekerja.
Di sisi lain, ia menilai masalah ketenagakerjaan yang sama pentingnya untuk diperhatikan sebagaimana pengangguran adalah masalah setengah menganggur, yaitu mereka yang bekerja di bawah jam kerja normal.
Dengan kata lain, mereka adalah angkatan kerja yang bekerja "seadanya" di sektor informal, bekerja serabutan dan pekerjaan apapun dilakukan agar dapat bertahan hidup.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lihat Juga : |
Ia mengatakan kelompok pekerja yang masuk kategori sebagai setengah pengangguran adalah mereka yang bekerja di sektor informal, melakukan usaha mandiri skala mikro dan ultra mikro sehingga sering bekerja tidak penuh waktu.
Berdasarkan data yang dimiliki Yusuf, di Indonesia saat ini setidaknya terdapat sekitar 29,8 juta pekerja dengan status pekerjaan berusaha sendiri.
Dari hampir 30 juta penduduk yang menjalankan usaha mandiri dengan pekerja tunggal (solo self-employment) berskala mikro dan ultra mikro itu didominasi sekitar 8,2 juta pelaku usaha di sektor pertanian dan 8,9 juta pelaku usaha di sektor perdagangan.
"Dengan skala usaha yang sangat kecil, skala mikro dan bahkan ultra mikro, pelaku usaha ini seringkali melakukan pekerjaan apapun demi bertahan hidup," kata Yusuf.
Kelompok pekerja lain yang cukup rentan masuk kategori setengah pengangguran adalah 5,6 juta pekerja dengan status pekerja bebas di sektor pertanian, 7,3 juta pekerja bebas di sektor non pertanian, dan 17,7 juta pekerja keluarga yang tidak dibayar. Kelompok-kelompok pekerja ini juga umumnya bekerja di sektor informal.
Sementara terkait dengan penyerapan tenaga kerja oleh investasi, Yusuf menilai industri manufaktur terutama industri padat karya mengalami penurunan daya saing sehingga investasi perlahan mulai meninggalkannya. Padahal investasi di industri padat karya lah yang paling besar menyerap tenaga kerja.
Investasi di Indonesia kini disebut banyak masuk ke sektor non tradable yang secara umum tidak banyak menyerap tenaga kerja sebagaimana industri padat karya.
Sedangkan investasi yang masuk ke sektor tradable umumnya bukan masuk ke industri padat karya tetapi ke industri ekstraktif seperti pertambangan dan industri pengolahan hilirisasi tambang yang secara umum bersifat sangat padat modal dan bahkan masih juga mengambil banyak tenaga kerja dari asing seperti investor dari China.
"Ini lah yang menjelaskan mengapa penyerapan tenaga kerja oleh investasi semakin menurun saat ini," kata Yusuf.
Ke depan, Yusuf menilai Indonesia tidak perlu terobsesi menarik kembali industri padat karya dan industri ekstraktif dengan mengandalkan upah buruh dan lahan murah kepada investor. Menurutnya, Indonesia harus beralih dari ekonomi berorientasi ekspor atau export-led growth menjadi ekonomi yang didorong oleh permintaan domestik atau domestic demand-led growth dengan menguatkan kembali daya saing sektor pertanian, perkebunan, perikanan dan peternakan.
"Industrialisasi berbasis kebutuhan penduduk yang besar seperti kita akan jauh lebih berkelanjutan dalam menciptakan lapangan kerja dan lebih mensejahterakan rakyat dibandingkan bergantung pada pasar ekspor yang cenderung fluktuatif," kata Yusuf.
Sementara, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan tak sebandingnya nilai investasi dan jumlah penyerapan tenaga kerja menjadi pertanda bahwa kualitas investasi di dalam negeri menurun.
"Kualitas dari investasi langsung dalam 10 tahun terakhir menurun. Investasi banyak masuk ke sektor jasa dan sektor berbasis komoditas," ujarnya.
Bhima memaparkan hal ini tercermin dari serapan tenaga kerja kumulatif. Ia membandingkan pada Januari-September 2014 misalnya, serapan tenaga kerja dari investasi Rp343 triliun mencapai 960.336 orang. Sedangkan pada 2022 hanya 965.122 orang dari investasi Rp892,4 triliun.
Bhima mengatakan pada 2014 lalu penyerapan tenaga kerja tinggi karena investasi yang masuk banyak ke sektor pengolahan, konstruksi, manufaktur dan sebagainya yang jelas memberikan multiplier effect lebih tinggi pula ke penyerapan tenaga kerja.
Sedangkan pada 2022, investasi tinggi namun serapan tenaga kerja kecil disebabkan oleh kualitas investasi yang menurun atau lebih ke sektor teknologi, gudang dan jasa setelah pandemi covid-19 berlangsung. Di mana sektor tersebut minim dalam penyerapan tenaga kerja.
"Penyebabnya investasi banyak masuk ke sektor jasa dan sektor berbasis komoditas. Contohnya investasi langsung FDI mulai tahun lalu sudah terindikasi berkorelasi dengan boom harga komoditas. Kemudian pra pandemi banyak investasi padat modal di sektor teknologi. Memang tidak bisa disalahkan masuk ke teknologi atau perusahaan startup, namun harus di imbangi dengan investasi di sektor manufaktur juga," jelasnya.