Bisakah Kasus Mario-Rubicon 'Hancurkan' Kepercayaan pada Pajak?
Kasus viral pamer harta dilengkapi penganiayaan oleh anak pejabat terjadi. Kali ini aksi itu dilakukan Mario Dandy Satrio.
Ia adalah anak Kepala Bagian Umum DJP Kemenkeu Kanwil Jakarta Selatan II Rafael Alun Trisambodo. Awal pekan lalu, ia secara bengis menghajar habis-habisan David, anak pengurus Pimpinan Pusat (PP) GP Ansor Jonathan Latumahina.
Persoalannya sepele; hanya masalah perempuan. Meski melakukan penganiayaan dan sudah ditetapkan menjadi tersangka, Mario masih bisa mendongak angkuh saat dipertontonkan oleh polisi beberapa waktu lalu.
Untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, kini ia sudah mendekam di tahanan Polres Metro Jakarta Selatan. Sementara itu David, korban kebengisan Mario kini masih harus terbaring dan belum sadarkan diri di ruang perawatan intensif atau ICU Rumah Sakit Medika Permata Hijau Jakarta.
Kasus penganiayaan itu pun berbuntut panjang. Tak hanya kasus penganiayaan, gaya hidup Mario serta kekayaan ayahnya juga menjadi sorotan. Maklum, saat menganiaya Mario mengendarai Rubicon, kendaraan yang terbilang 'wah' untuk anak muda seusianya.
Sementara itu untuk ayahnya, sorotan ditujukan pada kekayaan yang berdasarkan data LHKPN tembus Rp56 miliar. Jumlah harta itu hampir setara dengan yang dimiliki Menkeu Sri Mulyani dan 4 kali lebih besar dari yang dimiliki Dirjen Pajak Suryo Utomo.
Tak tanggung-tanggung, sorotan langsung diberikan oleh Sri Mulyani dan Suryo Utomo; bos Rafael.
Sri Mulyani dan Suryo Utomo sama-sama marah dengan kebengisan Mario termasuk gaya hidup mewahnya.
Pengamat Hukum Universitas Mulawarman Herdiansyah Hamzah Castro menilai baik Sri Mulyani dan Suryo Utomo harus segera melakukan perbaikan atas masalah seperti yang terjadi pada kasus Mario dan Rafael.
Tak hanya itu, tuntutan sama juga ia minta dilakukan oleh Jokowi. Pasalnya, kasus Mario katanya menunjukkan arogansi dan aksi pamer harta keluarga pejabat pajak adalah penyakit lama yang tidak kunjung mampu ditangani negara.
"Kalau kepercayaan publik tidak mampu dikembalikan maka bisa jadi mengarah ke pembangkangan sipil, di mana publik akan enggan membayar pajak kepada negara. Apalagi pajak-pajak yang ditarik sekarang justru makin besar, tidak sebanding dengan tata kelolanya yang buruk dan hanya jadi bancakan pejabat," tuturnya kepada CNNIndonesia.com, Kamis (23/2).
Ia menuntut DJP, Menkeu Sri Mulyani, hingga Presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan reformasi besar-besaran terhadap abdi dan pejabat negara. Castro ingin pejabat yang tidak taat, memanipulasi LHKPN, hingga gemar pamer gaya hidup mewah disanksi tegas.
Tak cuma sanksi disiplin, Castro berharap pemerintah tegas memproses hukum pejabat pajak yang diduga terlibat dalam perkara suap, gratifikasi, dan pencucian uang. Tanpa upaya penegakan hukum serius, ia menilai mustahil kepercayaan publik bakal kembali.
"Jangan lupa dengan perkara Gayus Tambunan. Itu cenderung seperti panas tahi ayam, kencang di awal namun kendor setelahnya. Revolusi mental yang seringkali digembar-gemborkan pada akhirnya hanya sebatas gimik," kritik Castro.
Castro juga mengkritik keras sikap Dirjen Pajak Suryo Utomo yang malah mengkhawatirkan nasib 45 ribu pegawai pajak. Ia tak habis pikir dengan ucapan Suryo dan meminta DJP lebih memikirkan para pembayar pajak imbas ulah pamer harta tersebut.
Senada, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal menyebut faktor kepercayaan adalah kunci penting kepatuhan wajib pajak. Terlebih, pengumpulan pajak di Indonesia dilakukan secara self assessment, bukan ditentukan pemerintah.
Menurutnya, masyarakat akan patuh membayar pajak jika percaya kepada pemerintah bahwa setoran tersebut betul-betul dimanfaatkan dan dikelola dengan benar. Jika governance atau tata kelolanya tidak benar menurut pandangan wajib pajak, Faisal menilai masyarakat akan enggan bayar pajak walaupun mampu.
"Sehingga dalam kasus seperti yang kita dengar baru-baru ini, pendisiplinan di aparatur pajak itu mutlak menurut saya, dari pusat sampai ke daerah. Karena ini bukan kejadian sekali, ada juga yang ditangkap di kasus masa lalu, Gayus ditangkap itu masalah governance juga," jelasnya.
"Bukan hanya aparatnya, tapi juga keluarganya. Kalau kemudian ketahuan keluarganya bergaya hidup mewah, itu sudah pasti suatu pengumpulan kekayaan yang tidak wajar. Ini yang menggerus kepercayaan," imbuh Faisal.
Sementara itu, Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute Achmad Nur Hidayat memperkirakan kasus penganiayaan anak pejabat pajak ini akan berdampak sangat besar bagi upaya pemerintah menaikkan pendapatan pajak. Terlebih, netizen terus menguliti arogansi Mario selaku anak dari pejabat pajak berharta Rp56,1 miliar.
Achmad menyebut masyarakat akan berpandangan bahwa pajak yang mereka bayar ke negara sebagian besarnya dikorupsi para pegawai pajak. Pajak yang dibayar masyarakat dinilai hanya memperkaya pegawai pajak, sementara yang masuk ke negara nilainya amat kecil.
"Meskipun secara persentase kami masih belum dapat memastikan. Namun, jika berita ini terus viral maka dampaknya akan semakin besar terhadap penurunan penerimaan pajak negara," ungkapnya.
Jika hal tersebut terjadi, Achmad menilai pemerintah bakal semakin berat bergerak karena sebagian besar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) berasal dari pajak. Ia lantas menuntut ketegasan pemerintah menyikapi kasus penganiayaan dan pamer harta anak pegawai pajak tersebut.
"Menkeu Sri Mulyani harus bertindak cepat dan tegas untuk segera menyelesaikan masalah ini. Menkeu harus segera memberi sanksi tegas jika ditemukan bukti sang pejabat pajak menyalahgunakan jabatannya," ultimatum Achmad kepada Sri Mulyani.
"Sambil menunggu proses investigasi berjalan, sang pejabat pajak tersebut harus diberhentikan sementara waktu karena dia pun mesti bertanggung jawab atas tindakan kesewenang-wenangan yang dilakukan anaknya," tandasnya.