Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menilai bos ritel bisa rugi jika merealisasikan ancaman berhenti menjual minyak goreng imbas pemerintah tak segera membayar utang Rp344 miliar.
Ancaman itu datang dari Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Mandey. Roy mengatakan utang Rp344 miliar tersebut muncul dari selisih harga minyak goreng alias rafaksi dalam program satu harga pada 2022 lalu yang belum dibayar pemerintah hingga saat ini.
"Kebutuhan itu kan terus ada. Mereka juga pasti tidak mungkin membiarkan pabrik mereka idle. Saya meyakini pasti ada pembicaraan dengan pemerintah untuk jalan keluar ini, karena dua-duanya rugi, mereka juga rugi. Masa pabriknya sudah ada mereka diamkan," komentar Ketua GAPKI Eddy Martono di Grand Hyatt Jakarta, Jakarta Pusat, Jumat (14/4).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, Eddy menuturkan tingkat pembelian dari produsen hilir juga terus berjalan. Ia menegaskan tidak ada indikasi produsen minyak goreng mau berhenti membeli minyak kelapa sawit.
Eddy juga menegaskan rencana penyetopan penjualan minyak goreng itu tidak membuat perusahaan bisa bebas mengalihkannya ke ekspor. Pasalnya, ada kewajiban pemenuhan dalam negeri alias Domestic Market Obligation (DMO).
"Tidak bisa semena-mena ekspor. Gak bisa juga, mereka tetap harus mensuplai dalam negeri dulu," katanya.
Di sisi lain, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Isy Karim mengatakan dirinya akan segera menghubungi Aprindo. Isy menegaskan pemerintah sebenarnya bukan tidak mau bayar utang, tetapi perlu hati-hati.
Isy mengatakan saat ini Kemendag sedang meminta pendapat dari Kejaksaan Agung mengenai keputusan apakah utang tersebut akan dibayar atau tidak. Permintaan pendapat hukum dilakukan agar nantinya pembayaran tidak melanggar aturan.
"Ini sekarang masih proses, jadi kita tinggal menunggu hasil dari pendapat hukum dari Kejaksaan Agung. Bukan masalah duitnya. Tapi karena prinsip kehati-hatian saja," kata Isy.