Kisruh antara Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) mengenai utang pengadaan minyak goreng murah sebesar Rp344 miliar pada 2021 lalu belum juga usai.
Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengatakan pihaknya belum bisa menerbitkan persetujuan pembayaran utang oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) karena aturan pengadaan minyak murah tersebut sudah tak lagi berlaku.
Karena masalah itu, jika utang dibayarkan dengan menggunakan anggaran negara tidak bisa. Sebab, tidak ada alokasi dana APBN untuk pembayaran utang tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Coba cek di APBN, (anggaran) bayar utang itu nggak ada. Yang membayar BPDPKS. Kalau Kemendag nggak ada anggaran untuk bayar utang" ujar Zulhas di kantor Kementerian Perdagangan, Kamis (4/5).
Utang itu sendiri berasal dari selisih harga minyak goreng alias rafaksi dalam program satu harga pada 2022 silam yang belum dibayar hingga saat ini.
Menurut Zulhas, BPDPKS sebenarnya mau membayar utang tersebut tetapi masih menunggu payung hukum yang pasti. Pasalnya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 3 tahun 2022 yang mengatur rafaksi minyak goreng tersebut telah dihapus.
Maka dari itu, Kemendag tengah meminta pendapat dari Kejaksaan Agung (Kejagung) terkait hal tersebut. Namun, hingga saat ini Kejagung disebut belum memberikan pendapat hukum.
"Kalau sudah ada nanti kita bilang dan bikin surat untuk 'eh bayar nih utangnya'. Jadi bukan Kemendag, kalau kita enggak ada anggarannya," kata Zulhas.
Sementara, Ketua Umum Aprindo Roy Nicholas Mandey sebelumnya mengancam akan berhenti menjual minyak goreng kemasan premium di seluruh gerai ritel anggotanya jika utang tersebut tak kunjung dibayar.
Tak hanya itu, bila perlu pihaknya juga berencana bakal menggugat pemerintah ke jalur hukum jika tak dibayar dalam tiga bulan ke depan.
"Opsi ketiga, kita bisa juga coba memikirkan jalur hukum. Tapi itu langkah yang terakhir sekali," kata Roy usai bertemu dengan pihak Kemendag.
Sebelum menempuh jalur hukum, Aprindo bakal melakukan dua opsi sembari melihat perkembangan penyelesaian utang. Pertama, mengurangi hingga menghentikan pembelian minyak goreng dari produsen.
Kedua, memotong tagihan ke produsen. Dengan begitu, Aprindo bakal mengurangi pembayaran minyak goreng yang telah dipasok produsen ke peritel.
"Bagi kami sebenarnya disuruh PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara), disuruh gugat, dan sebagainya bukan itu langkah yang bagusnya. Kita kan waktu penugasan (program minyak goreng satu harga) kan tidak pakai hukum, masak mengakhirinya dengan hukum," pungkas Roy.
(ldy/agt)