Rizal menuturkan utang semestinya dialokasikan kepada yang produktif, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Termasuk untuk infrastruktur.
Namun, infrastruktur yang dibangun adalah yang mampu menyelesaikan masalah pertumbuhan ekonomi yang selama ini hanya di angka kisaran 5 persen per tahun.
Selain itu, utang juga perlu didorong dan dialokasikan terhadap infrastruktur sektor industri manufaktur. Termasuk industri hulu sebagai penopang utama sustainabilitas produksinya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Misalnya perlu direvitalisasi industri manufaktur, seperti industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dan alas kaki, tekstil, logistik, hingga transportasi.
"Sehingga biaya transportasi bisa menurun. Sehingga daya saing ekonomi semakin meningkat," ucap Rizal.
Sedangkan untuk industri-industri hilir, utang seharusnya dipakai untuk pengembangan industri yang berbasis sumberdaya alam, baik pertanian dan tambang, sehingga mampu menyerap jumlah tenaga kerja baru, jumlah output, dan upah atau pendapatan yang meningkat.
Dengan kata lain, utang harus menghasilkan nilai tambah dalam membentuk PDB. Dengan begitu, utang bisa dibayar atas nilai tambah dari pemanfaatan dan utilisasi akan utang itu sendiri.
Sementara itu, Direktur Center of Economics and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menilai apa yang disampaikan JK tadi sangat masuk akal. Terlebih, beban bunga utang saat ini saja cukup besar, yakni hampir Rp400 triliun pada tahun ini.
Ia bahkan mengatakan pada tahun depan atau saat pemilu beban bunga utang bisa meningkat lagi ke level Rp500 triliun. Hal ini tak lepas dari suku bunga yang naik serta inflasi global masih tinggi.
"Itu artinya akan menghabiskan banyak sekali pendapatan negara, terutama pendapatan pajak akan tersedot sebagian untuk bayar utang," ucap Bhima.
Di sisi lain, tingginya suku bunga dan inflasi global pun bisa memberikan tekanan bagi pemerintah untuk mengerek suku bunga acuan demi menarik kreditur membeli surat berharga negara (SBN) dalam negeri.
Bhima mengatakan pembengkakan utang terjadi karena 88 persen strukturnya adalah SBN, di mana bunganya relatif tinggi sekitar 6-7 persen.
Ia juga mengkritisi pemerintah yang selalu mengklaim kenaikan utang terjadi karena pandemi. Padahal utang Indonesia sudah tinggi bahkan sebelum pandemi.
Tak hanya itu, pemerintah juga kerap kali mengklaim utang untuk belanja infrastruktur. Padahal infrastruktur tak berkorelasi dengan kenaikan indeks logistik.
Artinya, pembangunan infrastruktur yang dilakukan pemerintah belum bisa menurunkan biaya logistik secara signifikan.
Bhima menyebut yang terjadi saat ini adalah semakin banyak utang untuk infrastruktur, tapi biaya logistiknya masih tinggi, indeks logistiknya anjlok, dan daya saing di sektor manufaktur terus menurun.
Berdasarkan data World Bank, posisi Logistics Performance Index (LPI) Indonesia pada 2023 memang anjlok. Tercatat dari 139 negara, Indonesia menempati peringkat ke-63, turun 17 peringkat dari peringkat ke-46 pada 2018.
Agar utang itu tak terus membesar, Bhima mengingatkan beberapa hal kepada pemerintah. Pertama, presiden harus melakukan langkah-langkah progresif seperti pembatalan utang.
Kedua, menggunakan fasilitas Debt Service Suspension Initiative (DSSI) atau keringanan pembayaran utang luar negeri yang berlaku di G20.
"Meskipun ini sifatnya temporer, tetapi Debt Service Suspension Initiative ini memang diharapkan bisa memberikan ruang bagi presiden untuk menghitung kembali beban-beban utangnya," imbuh Bhima.
Ketiga, presiden harus berani dan tegas memangkas belanja yang boros atau belanja yang tidak berkorelasi terhadap kenaikan daya saing. Bhima mencontohkan, belanja itu seperti belanja pegawai. Ia pun mewanti-wanti pemerintah untuk tidak malah menaikkan gaji PNS.
"Harusnya biaya belanja pegawai itu dikurangi karena itu salah satu kontributor yang membuat menyempitnya ruang fiskal," katanya.
Dari sisi pajak, Bhima menyebut kalau mau kemampuan bayar utangnya baik, maka kemampuan menghasilkan penerimaan pajak juga harus didorong. Minimum rasio pajak Indonesia idealnya harus bisa di atas 12 persen.
"Jadi siklus setan ini harus diputus, jadi gak bisa menggunakan utang untuk pembangunan, tapi sebaiknya menggunakan pajak untuk pembangunan, itu yang benar. Menggunakan kerja sama swasta untuk pembangunan, jadi bukan dengan utang," tandasnya.