Jakarta, CNN Indonesia --
Kebijakan subsidi kendaraan listrik yang ditetapkan pemerintah dengan tujuan untuk mengurangi ketergantungan impor energi serta mengurangi emisi karbon, ternyata menuai kritik dari berbagai pihak.
Kritikan ditujukan tidak hanya untuk mobil saja tapi juga motor listrik. Subsidi pengurangan Pajak Pertambahan nilai (PPN) sebesar 10 persen menjadi 1 persen untuk mobil listrik dinilai terlalu besar.
Apalagi, segmen mobil listrik hanya segelintir masyarakat, itupun kalangan menengah atas. Artinya, tanpa diberikan subsidi pun bisa membeli kendaraan listrik. Tak heran, banyak suara memprotes kebijakan subsidi ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pertama, kritikan datang dari Mantan Gubernur DKI Jakarta sekaligus Cawapres 2024 Anies Baswedan. Ia menyebut kebijakan subsidi kendaraan listrik bukan solusi untuk mengatasi masalah lingkungan.
"Kalau kami hitung apalagi ini, contoh ketika sampai pada mobil listrik, emisi karbon mobil listrik per kapita per kilometer sesungguhnya lebih tinggi daripada emisi karbon bus berbahan bakar minyak," kata Anies.
Kritik juga datang dari Wakil Ketua DPR Rachmat Gobel. Menurutnya, pemerintah seharusnya fokus membangun pemerataan ekonomi, menanggulangi kemiskinan, serta memperkuat sektor pertanian, perikanan, dan pangan pada umumnya dibanding menggelontorkan subsidi untuk kendaraan listrik.
Ia mengatakan sektor-sektor tersebut seharusnya mendapat gelontoran subsidi lebih dari pemerintah karena mereka lah yang sebenarnya paling berhak dibantu.
"Subsidi untuk yang papa, bukan untuk yang berdaya. Mari kita gunakan akal sehat dan nurani kita dalam bernegara. Mana yang lebih prioritas dan urgent, membangun pertanian dengan mensubsidi petani dan pertanian atau mensubsidi mobil listrik dan pengusaha kaya?" katanya Gobel.
Senada dengan Gobel, beberapa fraksi di DPR RI juga meminta pemerintah untuk menggeser subsidi mobil listrik ke subsidi pupuk hingga memberikan bantuan lebih besar kepada warga miskin. Usulan itu disampaikan kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam rapat paripurna, Selasa (23/5) lalu.
Salah satu protes dilayangkan Fraksi PDIP, yang merupakan partai koalisi pemerintah. Pandangan fraksi yang dibacakan oleh Masinton Pasaribu sebagai pandangan dari partainya. Menurutnya, pemerintah harus lebih memperhatikan ekonomi kerakyatan dibandingkan memberikan subsidi untuk mobil listrik.
Pasalnya, 65 persen penopang pertumbuhan ekonomi berasal dari lapangan usaha yang berkaitan dengan pertanian, perikanan, pertambangan, perdagangan, hingga transportasi, yang pelakunya banyak masyarakat kecil.
"Sektor ini membutuhkan intervensi pemerintah juga. Jadi intervensi pemerintah jangan hanya mobil listrik saja tapi juga sektor kerakyatan," jelas Masinton.
Lanjut ke halaman sebelah...
Hasil riset Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menunjukkan sebanyak 80,77 persen masyarakat menolak program subsidi mobil listrik. Mayoritas khawatir program ini hanya untuk menjadi bancakan pejabat pemerintah yang berbisnis kendaraan listrik.
Sedangkan untuk subsidi motor listrik yang ditetapkan Rp7 juta per unit, baik untuk pembelian baru maupun konversi, nyatanya masih sepi peminat. Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko menduga ada tiga permasalahan utama subsidi motor listrik baru sepi peminat. Pertama, masyarakat belum banyak yang tahu soal subsidi ini karena peraturannya baru dibentuk.
Kedua, aplikasi Sisapira untuk proses pembelian motor listrik subsidi diklaim belum tersosialisasi dengan baik. Ketiga, karena program ini belum menjadi konsumsi publik.
Ramainya kritikan yang datang bagaikan alarm bernada nyaring, yang kali ini dibunyikan kalangan elite. Sehingga, opsi penundaan pemberian subsidi menjadi saran terdepan bagi pemerintah.
Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menilai dengan banyaknya kritikan dari kelompok elite menandakan saat ini memang bukan waktu yang tepat mengalokasikan anggaran besar-besaran untuk menyubsidi kendaraan listrik. Ia menyarankan program tersebut ditunda terlebih dahulu. Pemerintah bisa mengalihkan anggaran subsidi kendaraan listrik tersebut kepada bantuan yang langsung menyentuh masyarakat kecil.
"Sebaiknya disetop dulu subsidi kendaraan listrik dan dialihkan ke belanja yang berkaitan dengan transportasi publik, persiapan SPKLU di tiap daerah, hingga anggaran bantuan sosial dan pengendalian inflasi pangan," ujar Bhima kepada CNNIndonesia.com.
Menurutnya, membantu masyarakat miskin di tengah perekonomian yang masih belum menentu dan risiko tekanan dari global masih tinggi lebih penting ketimbang memberikan subsidi kendaraan listrik. Apalagi mobil listrik hanya dinikmati oleh kalangan atas saja.
"Masih banyak anggaran lebih mendesak jadi pemerintah perlu buat skala prioritas," imbuhnya.
Bhima juga meminta agar anggaran pengadaan mobil dinas listrik yang sudah ditetapkan Menteri Keuangan Sri Mulyani, ditunda karena belum diperlukan saat ini. Apalagi mengingat anggarannya mencapai ratusan juta per unit.
"Juga pengadaan mobil dinas listrik disetop dulu," jelasnya.
Senada, Ekonom Core Yusuf Rendy Manilet menilai pemerintah memang harus melakukan kajian ulang sebelum memberikan subsidi kendaraan listrik ini, terutama untuk mobil. Pasalnya, sebelum ada kebijakan subsidi pun pembelian kendaraan listrik ramai peminat.
"Sehingga ini bisa diartikan juga, kalau sebenarnya peminat kendaraan listrik di Indonesia itu akan bertambah, meskipun saat ini fasilitas subsidi ataupun insentif yang berkaitan dengan kendaraan listrik itu belum dirilis oleh pemerintah," kata Rendy.
Rendy justru menyarankan pemerintah menyiapkan infrastruktur pendukung kendaraan listrik terlebih dahulu. Misalnya, memperbanyak stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU) dan Stasiun Penukaran Baterai Kendaraan Listrik Umum (SPBKLU) di Indonesia.
[Gambas:Photo CNN]
Sebab, sampai saat ini ia masih jarang melihat ada SPKLU maupun SPBKLU di ibu kota. Sehingga, bisa saja ini menjadi salah satu alasan pertimbangan masyarakat yang ingin membeli kendaraan listrik tapi belum dilaksanakan.
Menurutnya, kajian ini perlu diperdalam. Sebab peminat mobil listrik pasti yang memiliki kemampuan finansial sehingga faktor harga tidak menjadi kendala, melainkan infrastruktur pendukung.
"Bukan tidak mungkin ada konsumen yang secara kemampuan itu mampu untuk membeli kendaraan listrik, tapi karena pertimbangan infrastruktur dari tenaga listriknya itu belum siap menurut konsumen, makanya mereka tidak begitu tertarik untuk membeli kendaraan listrik," jelasnya.
Rendy menuturkan saat kajian ulang dilakukan atau pemberian subsidi ditunda dulu, maka pemerintah bisa mengalihkan ke program lainnya yang lebih penting.
"Anggaran dari subsidi kendaraan listrik ini bisa dialihkan ke program atau pos belanja yang sekiranya masih dibutuhkan, terutama dalam periode transisi pembangunan ekonomi termasuk di dalamnya subsidi untuk pupuk misalnya dan juga bahkan bantuan sosial," pungkas Rendy.
[Gambas:Video CNN]