Berbeda dengan Arrangga, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan Indonesia sangat jauh dari kata krisis energi, terutama untuk energi listrik. Ia mengakui produksi minyak Indonesia berkurang drastis belakangan ini.
Tapi itu tidak akan sampai membuat krisis. Pasalnya, Indonesia bisa mengimpor minyak, khususnya di sektor bahan bakar minyak (BBM).
Namun, itu penuh risiko. Ketika produksi berkurang, maka yang terjadi memang bukan krisis energi, melainkan kenaikan jumlah impor.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dan imbas kenaikan itu adalah harga energi di dalam negeri. Hal itu terjadi apabila harga minyak tinggi dan nilai tukar rupiah tertekan.
"Ini tentu akan menjadikan beban impornya makin besar dan bisa berpengaruh ke harga jual BBM dalam negeri, terutama kondisi harga minyak tinggi dan rupiah melemah," ujarnya.
Jika hal tersebut terjadi, maka ini akan membuat masyarakat terutama yang miskin makin sengsara. Pasalnya, kenaikan harga BBM dan energi pasti akan berimbas ke lonjakan harga barang kebutuhan pokok lain.
Tak hanya ke rakyat miskin, beban sama juga dialami negara. Negara harus menanggung beban subsidi energi yang besar.
Oleh karenanya, ia menilai satu-satunya cara yang bisa dilakukan pemerintah untuk mengatasi penurunan produksi minyak dalam negeri adalah beralih ke energi terbarukan (EBT). Jadi, Indonesia harus bisa mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil.
"Ini harusnya segera geser dari minyak ke EBT. Kalau tidak masalahnya akan terus sama," jelasnya.
Menurut Bhima, saat ini perusahaan asing banyak yang cabut dari sektor migas Indonesia. Ini menandakan bahwa investor juga melihat bahwa prospek eksplorasi minyak di dalam negeri kurang menjanjikan.
Oleh sebab itu, sudah saat yang tepat bagi pemerintah saat ini beralih ke EBT. Apalagi potensinya energi hijau di Tanah Air begitu besar.
"Ini potensinya besar energi hijau kita. Kita bisa mulai dari solar panel, hidro, dan bayu. Ini kan sebetulnya tidak sulit jika pemerintah mendukung infrastrukturnya," jelasnya.
Tak hanya itu, Bhima mengingatkan bahwa pemerintah memiliki 'PR' besar, terutama dalam energi listrik. Salah satunya mengurangi oversupply atau kelebihan pasokan.
"Caranya ya dengan percepat suntik mati PLTU batu bara. Karena kalau kita ingin dorong transisi ke EBT, maka pensiun dini PLTU baik milik PLN maupun PLTU di kawasan industri atau captive power plant perlu segera dilaksanakan," imbuhnya.