Sektor manufaktur di negara-negara berekonomi raksasa melemah seiring dengan turunnya permintaan. Industri di Amerika Serikat (AS) dan Eropa keok lantaran turunnya permintaan pesanan.
Pabrik-pabrik di AS dan Eropa melaporkan penurunan pesanan pada Mei lalu, berdasarkan hasil riset S&P Global.
Kementerian Perdagangan AS mendata pesanan pabrik turun dalam tiga bulan berturut-turut pada April, selain sektor transportasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di Eropa, S&P Global melaporkan produksi industri kawasan mata uang 20 negara turun tajam pada Maret.
Sementara di China, situasinya pun tidak jauh lebih baik. Industri manufaktur China yang merupakan terbesar di dunia, membaik pada Mei. Namun, data terbaru menunjukkan ekspor Tiongkok anjlok 7,5 persen pada Mei dan menjadi penurunan terbesar sejak Januari.
Neraca dagang China mencerminkan permintaan yang merosot. Masalah lainnya, peningkatan angka pengangguran hingga bisnis properti yang loyo.
Secara global, optimisme produsen turun ke level terendah sejak Desember, menurut PMI Manufaktur Global JP Morgan.
Lihat Juga : |
"Aktivitas di sektor manufaktur tampaknya agak membaik Mei lalu. Hal itu terutama disebabkan pertumbuhan yang lebih kuat di beberapa pasar negara berkembang yang besar," kata ekonom Capital Economics Ariane Curtis, dikutip CNN Business, Minggu (11/6).
"Prospek industri tetap suram, dengan pesanan ekspor baru khususnya turun tajam," imbuhnya.
Penurunan di sektor manufaktur memang dirasakan semua negara. Konsumen di seluruh dunia mengurangi pengeluaran pada 2020 karena pandemi.
Pembukaan kembali China baru-baru ini, setelah bertahun-tahun pembatasan pandemi yang kejam, diharapkan memberikan angin segar pada ekonomi global, menurut Dana Moneter Internasional (IMF). Namun, kebangkitan ekonomi China pun ternyata tak sesuai ekspektasi.
"Kami telah melihat kurangnya permintaan barang sekarang di seluruh dunia karena percepatan dalam poros dari barang ke jasa, itulah sebabnya Anda mulai melihat sektor jasa (indeks manajer pembelian) meningkat," kata Tom Garretson, ahli strategi portofolio senior di RBC Wealth Management AS.
"Dan ada banyak antisipasi untuk pembukaan kembali China, tetapi jelas secara keseluruhan hal itu gagal terwujud."
Di sisi lain, bank-bank sentral melanjutkan perang mereka terhadap inflasi. Naiknya suku bunga mengendalikan kenaikan harga-harga membuat perbankan memperketat syarat kredit.
Di AS, pengetatan terjadi, terutama setelah kegagalan tiga bank dalam beberapa bulan terakhir. Begitu pun di Eropa, terlebih setelah Swiss Credit Suisse dibeli UBS.
Kenaikan suku bunga dan inflasi yang tinggi membebani konsumen dan bisnis di kedua raksasa ekonomi tersebut, meskipun inflasi sudah mereda beberapa bulan terakhir.
(pta/sfr)