ANALISIS

Kualitas Belanja Daerah Buruk, Siapa yang Salah?

fby | CNN Indonesia
Kamis, 15 Jun 2023 08:00 WIB
Belanja APBD kerap tidak optimal, bahkan ada terjadi pemborosan. Pemerintah pusat dan DPRD bertanggung jawab mengawasi alokasinya.
Belanja APBD kerap tidak optimal, bahkan ada terjadi pemborosan. Pemerintah pusat dan DPRD bertanggung jawab mengawasi alokasinya. (CNN Indonesia/Adi Maulana)
Jakarta, CNN Indonesia --

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyoroti belanja pemerintah dalam APBN maupun APBD. Pasalnya, ia menemukan belanja negara kerap dilakukan tidak optimal.

Secara khusus, ia menyoroti penggunaan APBD. Tanpa menyebut daerahnya, ia mencontohkan ada pemda yang 80 persen anggarannya habis untuk kegiatan yang tidak konkret, yakni untuk rapat dan perjalanan dinas. Maka dari itu, Jokowi ingin penggunaan dana ini diubah dari yang berorientasi prosedur menjadi berorientasi hasil agar belanjanya konkret dan optimal.

"Begitu bisa dibalik, 80 persen (untuk kegiatan) konkret, 20 persen untuk rapat, anggaran APBN, APBD itu produktif," ujarnya di acara Rakornas Pengawasan Intern Pemerintah Tahun 2023, Jakarta, Rabu (14/6).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Jokowi pun meminta belanja negara harus dilakukan secara optimal dan produktif. Pasalnya, tak mudah mencari uang di tengah situasi ekonomi global yang sulit seperti sekarang.

"Karena memang cari uang sangat sulit, baik lewat pajak, PNBP, royalti, dividen, tidak mudah. Sekali lagi, untuk wujudkan Indonesia Emas 2045 tidak mudah," katanya.

Hal serupa juga diungkapkan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Badan tersebut menemukan potensi pemborosan belanja daerah hingga 21 persen dalam melaksanakan program pembangunan yang telah disusun dalam RPJMN 2020-2024.

Kepala BPKP Muhammad Yusuf Ateh mengatakan potensi tersebut ditemukan saat mengawasi dari sisi aspek efektivitas dan harmonisasi pembangunan di daerah.

"Kami menemukan adanya potensi pemborosan alokasi belanja daerah sebesar 21 persen dari nilai anggaran yang diuji petik," ujarnya.

Selain itu, BPKP juga menemukan 43 persen program sasaran di daerah berpotensi tidak optimal. Kondisi ini dinilai perlu segera ditindaklanjuti atau diperbaiki agar bisa berjalan optimal.

Dalam lima tahun terakhir, dana transfer ke daerah dan dana dana desa jumlahnya cukup fluktuatif. Berdasarkan data Kemenkeu, dana transfer ke daerah dan dana dana desa berjumlah Rp811,29 triliun pada 2019. Kemudian turun menjadi Rp762,53 triliun pada 2020 dan Rp785,71 triliun pada 2021. Lalu, anggarannya naik menjadi Rp816,24 triliun pada 2022.

Menanggapi hal tersebut, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan pernyataan Jokowi dan BPKP tersebut mengonfirmasi bahwa anggaran di Indonesia masih buruk.

Menurutnya, ada beberapa kesalahan penganggaran belanja negara terutama dalam perencanaan di mana banyak program yang tidak tepat sasaran. Kemudian, terjadi pemborosan belanja rapat, belanja perjalanan dinas, serta belanja barang yang tidak ada kaitannya dengan program pembangunan.

"Ini sebenarnya seringkali sudah disampaikan dalam berbagai temuan BPKP dan BPK. Tapi rekomendasi-rekomendasi yang dihasilkan belum tentu dijalankan terutama oleh pemerintah daerah," katanya kepada CNNIndonesia.com, Rabu (14/6).

Bhima mengatakan jika belanja negara terus dilakukan secara tidak produktif, ditambah pengawasan yang tidak baik maka dikhawatirkan bisa menjadi celah terjadinya korupsi. Kemudian terjadi pengadaan barang sebenarnya tidak dibutuhkan negara.

Maka dari itu, pengawasan terhadap anggaran perlu ditingkatkan terutama di tahun-tahun politik. Bagi kepala daerah yang tidak menggunakan APBD dengan optimal, Bhima menilai harus ada pemotongan gaji dan tunjangan secara signifikan. Bahkan kalau perlu dana transfer umum dan dana alokasi khusus dari pemerintah pusat bisa direalokasi ke daerah lainnya yang performa anggarannya lebih baik.

Bhima mengatakan pengawasan anggaran sebenarnya sudah dilakukan secara berjenjang dengan melibatkan berbagai lembaga, mulai dari KPK, Kejaksaan Agung, Polri, BPK, dan BPKP, DPR, hingga DPRD.

"Banyak sebenarnya pengawasan tapi masih saja terjadi (anggaran tidak optimal). Jadi, khawatir ada semacam pembiaran padahal pajak makin lama makin naik, utang makin tambah, tapi kualitas anggarannya masih dipertanyakan," katanya.

Ke depan, Bhima menyebut perlu ada koordinasi antar lembaga serta masyarakat dalam pengawasan anggaran agar dapat digunakan secara produktif.

"Kementerian Keuangan tentu perlu menyiapkan pengawasan berlapis, DPRD juga harus dilibatkan dalam pengawasan. Masyarakat yang menemukan kejanggalan dalam implementasi anggaran, kolom pengaduannya juga harus segera di-follow up," katanya.

Lanjut ke halaman sebelah...

Dipakai untuk bagi-bagi proyek hingga mendulang suara saat pilkada

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER