ANALISIS

Kualitas Belanja Daerah Buruk, Siapa yang Salah?

fby | CNN Indonesia
Kamis, 15 Jun 2023 08:00 WIB
Belanja APBD kerap tidak optimal, bahkan ada terjadi pemborosan. Pemerintah pusat dan DPRD bertanggung jawab mengawasi alokasinya.
Dipakai untuk bagi-bagi proyek hingga mendulang suara saat pilkada. (iStock/Atstock Productions)

Direktur Indonesia Development and Islamic Studies (IDEAS) Yusuf Wibisono mengatakan masalah APBD tidak efektif dalam mendorong kesejahteraan rakyat sebenarnya sudah menjadi isu sejak lama, bahkan dari awal otonomi daerah (otda) digulirkan pada 2001.

Ia menyebut permasalahannya terletak pada belanja operasional daerah yang cenderung besar karena banyaknya jumlah ASN. Ini menyebabkan belanja pegawai tinggi dan inefisiensi belanja barang seperti perjalanan dinas hingga kegiatan-kegiatan bertema 'koordinasi' dan 'sosialisasi'.

Dengan kondisi itu, kinerja APBD cenderung rendah dimana sebagian besar anggaran habis hanya untuk belanja gaji pegawai dan belanja barang.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Belanja penting daerah, yaitu belanja modal dan belanja bantuan sosial, menjadi bersifat residual (ampas), hanya sekitar 20 persen dari APBD," kata Yusuf.

Ia mengatakan kelemahan APBD berakar dari rendahnya pendapatan asli daerah atau PAD. Karenanya, APBD banyak bergantung pada dana Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD).

Dengan besarnya ketergantungan APBD pada TKDD, maka Yusuf menilai pemerintah pusat menjadi pihak yang paling bertanggung jawab atas kinerja APBD. Namun, tentu saja DPRD juga memiliki tanggung jawab atas APBD.

Menurutnya, UU Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah perlu mengakomodasi ketentuan agar penggunaan APBD oleh pemerintah daerah menjadi lebih bertanggung jawab.

Misalnya, menetapkan batas belanja gaji pegawai maksimal 25 persen dari APBD dan belanja barang maksimal 15 persen dari APBD. Atau sebaliknya, UU tersebut mengakomodasi ketentuan batas minimal belanja untuk rakyat. Misal belanja modal minimal 25 persen dari APBD dan belanja bantuan sosial minimal 30 persen dari APBD.

"Dengan demikian, belanja modal dan belanja bantuan sosial dapat lebih tinggi dan mendominasi APBD," kata Yusuf.

Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita sepakat dengan pernyataan Jokowi bahwa mayoritas anggaran daerah terpakai untuk belanja rutin dan operasional, yang diperkirakan mencapai 60 persen. Sedangkan sisanya pun untuk belanja pembangunan yang kurang krusial dalam mengungkit pertumbuhan ekonomi daerah.

"Bahkan dalam bahasa yang agak tendensius, anggaran pembangunan daerah jadi ajang bagi-bagi proyek bagi pengusaha-pengusaha 'politik' yang menempel pada penguasa daerah sejak penguasa tersebut mulai mengikuti pilkada," ucapnya.

Bahkan tak sedikit pula anggaran tersebut dijadikan instrumen pork barrel politics oleh penguasa daerah, yaitu digunakan untuk proyek-proyek atau belanja sosial kesejahteraan yang bertujuan untuk mendulang suara di pemilihan selanjutnya.

Hasilnya, kata Ronny, tentu sangat kurang produktif karena program yang dijalankan bukan berorientasi untuk menggenjot pertumbuhan daerah, raupan suara.

Di sisi lain, anggaran daerah diletakkan di bank desa atau biasanya disebut Bank Pembangunan Daerah (BPD) yang mayoritas menginvestasikan lagi dananya di Bank Indonesia dalam bentuk bentuk pembelian surat utang negara atau surat berharga negara lainnya, untuk mendapatkan yield.

Alhasil, kondisi-kondisi tersebut membuat anggaran daerah menjadi sangat kurang produktif.

"Dan pada ujungnya, siapa pun penguasanya di daerah, kerjanya hanya as usual menjalankan rutinitas pemerintahan. Bahkan penguasanya rata-rata tak peduli dengan belanja produktif atau tidak," kata Ronny.

(pta)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER