Sri Mulyani soal Julukan Menkeu Tukang Utang: Ketinggalan Kereta Jauh
Menteri Keuangan Sri Mulyani membalas tajam kritik mengenai julukan menteri keuangan doyan utang atau ratu pencetak utang yang disematkan kepadanya.
Menurutnya, siapapun yang memberikan julukan tersebut adalah orang yang tak mengerti mengenai kegunaan dari utang itu sendiri.
"Jadi kalau di ruangan ini Anda cuma bilang 'Wah ini bu menteri keuangan utang melulu, Anda sudah ketinggalan kereta jauh banget," kata Sri Mulyani di Jakarta, Kamis (20/7).
Wanita yang akrab disapa Ani ini menuturkan utang adalah salah satu instrumen yang digunakan tidak hanya Indonesia tapi banyak negara lain untuk menghadapi berbagai tantangan ekonomi di tengah keterbatasan keuangan negara (APBN).
Misalnya, untuk membiayai krisis iklim yang nilainya sangat besar dan tidak bisa hanya mengandalkan APBN saja. Hal ini tak mungkin dibiarkan begitu saja, apalagi krisis iklim menjadi tantangan nyata bagi Indonesia.
Ia mengakui memang betul ada instrumen fiskal seperti penerimaan pajak yang bisa digunakan. Tapi tentu saja tidak cukup, karena penerimaan tersebut digunakan juga untuk pembangunan, pembiayaan subsidi, hingga belanja negara lainnya.
Oleh karenanya, utang menjadi salah satu pilihan dalam menghadapi tantangan yang makin komplek. Namun, tentu saja ia memastikan pemerintah tidak sembarangan berhutang, tetap dilakukan dengan prinsip kehati-hatian.
"Tidak berarti kita kemudian sloppy atau ugal-ugalan. Oleh karena itu kita harus hati-hati sekali," pungkasnya.
Utang pemerintah berdasarkan data Kementerian Keuangan per akhir Mei tercatat sebesar Rp7.787,51 triliun. Realisasi ini turun sekitar Rp62,38 triliun dari posisi April 2023 yang sebesar Rp7.849,89 triliun.
Secara rinci, utang tersebut terdiri dari Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp6.934,25 triliun dan pinjaman sebesar Rp853,26 triliun.
Sementara, rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 37,85 persen. Artinya, utang pemerintah masih jauh lebih rendah dari batas yang ditetapkan dalam UU Keuangan Negara sebesar 60 persen dari PDB.