Bahlil Tuding IMF Cs Emoh Lihat Indonesia Maju
Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia menuding lembaga internasional seperti IMF yang tak ingin melihat Indonesia sukses dan maju.
Hal ini dikarenakan, IMF dan lembaga dunia lainnya meminta Indonesia untuk memperlonggar kebijakan larangan ekspor mineral mentah, seperti nikel yang telah dilakukan sejak 2020 lalu.
"Jadi lembaga-lembaga ini tak ingin negara ini maju," ujarnya dalam konferensi pers di kantornya, Jumat (21/7).
Menurutnya, hilirisasi adalah salah satu cara yang dilakukan banyak negara untuk bisa sukses dan maju, tak terkecuali Indonesia. Oleh karenanya, ia menilai siapapun yang menentang kebijakan yang telah disusun ini artinya tak ingin Indonesia maju.
"Kalau seandainya tidak ada manfaat untuk Indonesia pasti mereka tidak memberikan rekomendasi. Jadi mereka membuat antitesa," imbuhnya.
Kendati banyak yang menentang kebijakan hilirisasi ini, Bahlil menekankan pemerintah tak akan berhenti. Kebijakan larangan ekspor mineral mentah dipastikan akan terus berjalan.
Bahkan, pemerintah bakal memberikan berbagai insentif bagi investor yang ingin masuk ke Indonesia dan tidak terganggu dengan kebijakan yang telah dibuat.
"Kita tetap konsisten dan kita akan mendorong untuk memberi insentif yang lebih baik lagi untuk masuk. Saya baru pulang dari China, saya lihat memang nggak ada cara lain selain industrialisasi untuk jadi negara maju," pungkasnya.
Sebelumnya, IMF meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mempertimbangkan pelonggaran pembatasan ekspor nikel dan komoditas lainnya.
Permintaan mereka sampaikan dalam IMF Executive Board Concludes 2023 Article IV Consultation with Indonesia yang dikeluarkan Minggu (25/6) kemarin.
Dalam laporan itu, IMF sebenarnya menyambut baik ambisi Indonesia untuk meningkatkan nilai tambah dalam ekspor mineral, termasuk menarik investasi asing dari kebijakan larangan ekspor itu.
Selain itu, IMF tersebut juga mendukung langkah Indonesia yang memfasilitasi transfer keterampilan dan teknologi. Namun, mereka mencatat bahwa kebijakan harus didasarkan pada analisis biaya-manfaat yang lebih lanjut, dan dirancang untuk meminimalkan dampak lintas batas.
"Dalam konteks itu, para direktur mengimbau untuk mempertimbangkan penghapusan bertahap pembatasan ekspor dan tidak memperluas pembatasan tersebut ke komoditas lain," tulis laporan tersebut.