Satuan Tugas (Satgas) Percepatan Sosialisasi Undang-Undang Cipta Kerja baru-baru ini menggelar Focus Group Discussion (FGD) yang membuka ruang bagi berbagai masukan dari para pelaku usaha mikro, kecil, menengah, hingga besar di kawasan Batam yang terkenal sebagai Kawasan Bebas atau Free Trade Zone (FTZ).
Pada Jumat (4/8), berbagai pandangan dan kisah sukses serta tantangan pun terungkap dalam diskusi 'Aspek Kemitraan Bagi Usaha Mikro Kecil dengan Usaha Menengah dan Besar dalam UU Cipta Kerja'.
Sebagai sebuah kawasan FTZ, Batam memberikan keistimewaan dengan tidak mengenakan bea masuk, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Keuntungan ini mendukung proses ekspor yang lancar, meskipun di sisi lain, muncul permasalahan baru bagi pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Harga barang dari Batam meningkat saat dikirim ke provinsi lain, mengakibatkan keluhan dari kalangan UMKM terkait daya saing mereka di pasar regional.
Salah satu peserta yang terkena dampaknya adalah Nurli, seorang pengusaha pempek. Menurutnya, UU Cipta Kerja sebenarnya mempermudah terutama dalam hal perizinan, namun ia mengungkapkan kekhawatiran terkait masih adanya pajak.
"Dahulu, sebelum ada Free Trade Zone kita hanya memikirkan jualan, kita bisa hidup karena mudah pengiriman ke seluruh provinsi," ujarnya dalam keterangan tertulis, Senin (7/8)
Di sisi lain, pemilik PT. Kaitek Syamra Inovasi, Gusti, yang bergerak di bidang otomatisasi mesin, berpendapat bahwa skema kemitraan dalam UU Cipta Kerja dapat membantu memperluas jaringan pemasaran dan menghubungkan UMKM dengan perusahaan besar.
"Harapan saya adanya UU Cipta Kerja ini bisa membantu UMKM dalam memasarkan hasil karya kami," ucapnya penuh harap.
Tidak hanya para pelaku usaha, pihak pemerintah juga memberikan perhatian serius terhadap masukan dari para pelaku UMKM di Batam.
Perwakilan Kementerian Keuangan, Rizaldi, merespons positif dan siap mengambil langkah tindak lanjut untuk mengatasi masalah ini. Ia mengungkapkan bahwa terdapat keringanan pajak sebesar 0,5 persen dari omzet yang lebih kecil dari ketentuan sebelumnya.
"Pelaporannya pun cukup sederhana, dari omzet per tahun," kata dia.
Namun, polemik mengenai kemitraan masih menjadi isu yang mengemuka. Beberapa pelaku UMKM mempertanyakan kejelasan peraturan terkait kemitraan dalam UU Cipta Kerja.
Mereka berharap pemerintah dapat memfasilitasi kemitraan dengan perusahaan besar dan memperhatikan seluruh rantai pasokan.
"Kami senang ada UU Cipta Kerja, karena ini membuktikan pemerintah ingin Indonesia jadi negara maju. Hanya saja, kalau UMKM mau maju, tolong perhatikan supply chain," ungkap salah seorang pelaku UMKM.
Menanggapi hal ini, Perwakilan Direktorat Usaha dan Investasi Kementerian Kelautan dan Perikanan, Bambang Sukoco, menyampaikan contoh nyata kemitraan yang sedang digulirkan, yakni Klaster Daya Saing (KDS).
Konsep ini menghubungkan berbagai unit usaha kelautan dan perikanan secara terintegrasi, dari hulu hingga hilir, dengan tujuan meningkatkan daya saing dan potensi daerah.
Terkait dengan permasalahan implementasi, perwakilan dari Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Batam mengingatkan pentingnya pengawasan yang efektif. Mereka menekankan perlunya kedisiplinan dalam menjalankan kesepakatan, terutama dalam konteks kemitraan antara pelaku UMKM dan perusahaan besar.
FGD ini juga mengungkapkan perbedaan antara MoU dan Perjanjian Kerja Sama (PKS), di mana para pelaku usaha di Batam diharapkan dapat mengupayakan perjanjian yang lebih mengikat melalui PKS.
Dengan berbagai permasalahan dan harapan, UU Cipta Kerja memberikan potensi baru bagi pertumbuhan ekonomi dan kemitraan di Kawasan Batam. Tantangan dan upaya penyelesaiannya menjadi bagian penting dalam perjalanan ini, menuju peningkatan daya saing UMKM dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
(rir)