Terkait permasalahan ini, pemerintah tidak boleh diam saja. Menurut Ronny ada tiga cara yang bisa diambil pemerintah agar ke depan utang tak terus membebani BUMN Karya, sehingga perusahaan pelat merah semakin sehat dan bermanfaat bagi negara.
Pertama, mengaudit proyek-proyek BUMN karya yang bermasalah. Lalu diikuti dengan audit BUMN karya secara keseluruhan.
"Jika terjadi malapraktik, tentu harus ditindak," imbuh Ronny.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kedua, restrukturisasi keuangan perusahaan, sampai dianggap oleh perbankan layak untuk bernegosiasi ulang.
"Ketiga, jalan terpahit, pemerintah melakukan intervensi soal utang BUMN Karya alias PMN (Penyertaan Modal Negara) yang disertai komitmen ketat dari BUMN karya," kata Ronny.
Sementara itu, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ariyo DP Irhamna menilai pemicu penumpukan utang BUMN Karya adalah tata kelola yang tidak baik, manajemen perusahaan yang buruk, ditambah penugasan yang ugal-ugalan serta model bisnis yang buruk.
"BUMN Karya menurut saya harus diprivatisasi sebab pelaku usaha swasta sudah banyak dan lebih berkualitas, sehingga tidak ada urgensi negara memiliki badan usaha di sektor konstruksi," katanya.
Ariyo berpendapat negara tak butuh BUMN Karya karena di Indonesia sendiri banyak perusahaan swasta di sektor konstruksi yang bagus. Sedangkan, BUMN sendiri memiliki biaya yang tidak besar dan semakin mempersempit ruang fiskal.
Ia juga menerangkan manajemen BUMN Karya yang buruk itu terlihat dari kinerja perusahaanya. Misal di aspek keuangan, kondisinya rugi terus, dan bahkan beberapa ditangguhkan di pasar modal.
Ia mencontohkan kasus pada Waskita Karya yang sahamnya ditanggungkan di pasar modal. Bahkan, baru-baru ini pemerintah juga membatalkan PNM Rp3 triliun untuk perusahaan tersebut.
Selanjutnya, ia juga menanggapi pernyataan Erick Thohir yang akan tetap mendukung pinjaman BUMN Karya ke perbankan berdasarkan proyek atau bukan korporasi lagi. Menurutnya, bank BUMN mungkin saja mau asal bunganya tinggi.
Sementara, untuk bank swasta mereka mungkin akan berpikir bolak-balik.
"Artinya, penambahan pinjaman itu tidak mengatasi akar masalah. Akar masalahnya apa? Ya yang tadi yang saya sebutkan di awal: tata kelola yang tidak baik, manajemen perusahaan yang buruk, ditambah penugasan yang ugal-ugalan dan model bisnis yang buruk," tegas Ariyo.
"Di sisi lain, BUMN Karya itu tidak relevan. Negara tidak ada urgensi memiliki BUMN karya. Apalagi pekerjaanya itu disubkontraktor ke swasta," tandasnya.