Kemenkeu Respons Keberatan Freeport soal Bea Keluar
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menjawab kerisauan PT Freeport Indonesia (PTFI) soal Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 71 Tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga Atas PMK Nomor 39/PMK.010/2022 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Febrio Kacaribu mengatakan hadirnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 71 itu sudah tepat. Ia menegaskan beleid ini sejalan dengan arahan hilirisasi dari Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"Terkait bea keluar konsentrat tembaga, intinya adalah kita ada Peraturan Menteri ESDM Nomor 7 (Tahun 2023) terkait penjualan hasil pengolahan ke luar negeri yang dapat dilakukan dengan pemenuhan kewajiban membayar bea keluar. Tarifnya ini dikaitkan dengan progres kemajuan pembangunan smelter," katanya dalam konferensi pers APBN KiTA, Jumat (11/8).
"Kebijakan sektor peraturan menteri ESDM ini kemudian didukung dengan kita terbitkan PMK Nomor 71, sesuai dengan kebijakan sektor tersebut," imbuh Febrio.
Febrio juga menekankan aturan ini sejalan dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 37 Tahun 2018 tentang Perlakuan Perpajakan dan/atau Penerimaan Negara Bukan Pajak di Bidang Usaha Pertambangan Mineral. Ia menyebut beleid yang diterbitkan Menkeu Sri Mulyani sudah sesuai dengan UU Mineral dan Batu Bara (Minerba).
Menurutnya, dalam PP Nomor 37 Tahun 2018 dijelaskan jenis-jenis penerimaan negara yang mengikuti peraturan perundang-undangan dinamakan prevailing dan bersifat tetap untuk periode tertentu.
"Dalam konteks ini, PMK Nomor 71 itu sesuai PP Nomor 37. Jadi, tidak ada kebingungan di sana," tegas Febrio.
"PMK Nomor 71 ini terkait Peraturan Menteri ESDM Nomor 7, tujuannya untuk mendukung hilirisasi, terutama pembangunan smelter. Dengan demikian, penerimaan bea keluar ini akan sangat tergantung progres pembangunan smelter tersebut dan perkembangan harga komoditas," tutupnya.
PTFI keberatan dengan aturan bea keluar yang baru. VP Corporate Communications Freeport Indonesia Katri Krisnati menyebut pihaknya mungkin akan mengajukan keberatan dan banding terhadap penghitungan penetapan bea keluar berdasarkan aturan terbaru itu.
Pasalnya, aturan dari Kemenkeu mewajibkan perusahaan dengan progres smelter 70 persen-90 persen membayar bea keluar konsentrat tembaga sebesar 7,5 persen pada paruh kedua 2023 dan 10 persen pada 2024.
Sedangkan bea keluar yang ditetapkan untuk perusahaan dengan pembangunan smelter di atas 90 persen adalah 5 persen di paruh kedua tahun ini dan 7,5 persen pada 2024.
"Kami menjelaskan proses penerapan bea keluar ada mekanisme pengajuan keberatan, jadi bukan (menggugat)," kata Katri kepada CNNIndonesia.com, Selasa (8/8).
Keberatan diajukan karena pada akhir 2018 lalu, Pemerintah Indonesia dan Freeport-McMoRan Inc., selaku pemegang saham PTFI mencapai kesepakatan bersama yang dituangkan dalam Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Berdasarkan dokumen di Securities and Exchange Commission (SEC) AS Freeport McMoRan yang diterbitkan pada 3 Agustus lalu, Freeport menilai bea keluar harusnya ditetapkan nol alias gratis jika mengacu IUPK.
Freeport menyebut progres pembangunan smelter mereka sampai Maret 2023 sudah sesuai syarat. Menurutnya, pemerintah juga sudah memverifikasi progres konstruksi Smelter Manyar, Gresik, Jawa Timur milik PTFI.
Berdasarkan hasil verifikasi, pemerintah memastikan perkembangan pembangunan smelter Freeport sudah melebihi 50 persen. Dengan begitu, penghapusan bea keluar PTFI seharusnya efektif per 29 Maret 2023.
"Kami memahami adanya kemungkinan pengajuan keberatan dan banding, namun kami tetap berharap pemerintah senantiasa menerapkan ketentuan bea keluar bagi PTFI sesuai dengan IUPK yang sudah disetujui bersama," tandasnya.