Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi Septian Hario Seto membantah tudingan Ekonom Senior UI Faisal Basri yang menyebut kebijakan hilirisasi tidak mengenakan pajak keuntungan atau pajak penghasilan badan kepada perusahaan smelter nikel.
Faisal mengatakan perusahaan smelter nikel bebas pajak keuntungan badan karena mereka menikmati tax holiday selama 20 tahun atau lebih.
Namun, tudingan itu dibantah Seto dan menyebut Faisal Basri tidak memahami ketentuan tax holiday di Indonesia sehingga mencapai kesimpulan yang salah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, tax holiday 20 tahun diberikan dengan investasi sebesar Rp30 triliun atau lebih. Jika kurang dari nilai itu, maka akan menyesuaikan periodenya, antara 5-15 tahun.
"Insentif tax holiday ini hanya untuk PPh Badan, pajak-pajak lainnya tetap harus dibayar," jelasnya kepada CNNIndonesia.com, Sabtu (12/8).
Berdasarkan data pemberian tax holiday selama 2018-2020, imbuhnya, rata-rata perusahaan smelter hanya memperoleh tax holiday 7-10 tahun. Menurutnya, cuma ada 2 yang memperoleh 20 tahun, dimana saat ini hanya 1 yang beroperasi.
"Masih ada banyak juga smelter yang tidak memperoleh tax holiday karena tidak memenuhi persyaratan selain nilai investasi. Setelah periode tax holiday habis, maka mereka harus membayar pajak sesuai ketentuan," katanya.
Dia menambahkan, untuk smelter-smelter yang dibangun periode 2014-2016 dan memperoleh tax holiday selama 7 tahun, saat ini sudah memulai membayar PPh Badan.
Dengan mencocokkan data KBLI perusahaan-perusahaan yang memperoleh tax holiday (KBLI 24202), dan penerimaan perpajakan dari KBLI tersebut, dapat terlihat tren peningkatan yang signifikan dari pendapatan perpajakan 2016-2022.
Seto memaparkan penerimaan perpajakan pada 2022 dari sektor hilirisasi nikel adalah Rp17,96 triliun atau naik sebesar 10,8 kali dibandingkan 2016 sebesar Rp1,66 triliun.
Untuk pendapatan PPh Badan pada 2022 adalah Rp7,36 triliun atau naik 21,6 kali lebih banyak dibandingkan periode 2016 sebesar Rp340 miliar.
Jika kebijakan ekspor bijih nikel tetap dilakukan dengan menggunakan data 2019, pendapatan pajak ekspor hanyalah sebesar US$110 juta (Rp1,55 triliun) atau 10 persen dari nilai ekspor bijih nikel sebesar US$1,1 milyar.
Angka tersebut tetap lebih kecil jika dibandingkan dengan pendapatan pajak dari sektor hilirisasi nikel sebesar Rp3,99 triliun pada 2019.
"Jadi, analisis yang disampaikan Faisal Basri dalam menyanggah statement Presiden Jokowi terkait dengan perpajakan ini juga salah. Dari data di atas, telah terjadi peningkatan pajak yang cukup signifikan dari sektor hilirisasi ini,"
"Perlu dicatat pula bahwa penerimaan perpajakan dari sektor hilirisasi nikel ini, belum memasukkan pendapatan pajak dari sektor lain yang ikut tumbuh akibat hilirisasi nikel ini seperti pelabuhan, steel rolling, jasa konstruksi, industri makanan dan minuman dan akomodasi," imbuhnya.