Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) membantah tudingan Ekonom Senior Faisal Basri yang menyebut nikel Indonesia dijual terlalu murah ke perusahaan smelter.
Dalam Kajian Tengah Tahun INDEF bertemakan Menolak Kutukan Deindustrialisasi, Faisal mengatakan harga nikel yang dibeli oleh perusahaan smelter jauh lebih rendah dibandingkan dengan harga di Shanghai.
"Kenapa saya bilang tolol? Pertama, harga yang dibeli perusahaan smelter itu ditetapkan pemerintah pakai HPM (harga patokan mineral). Di Shanghai, harganya US$82,7 per ton, tapi smelter nikel di RI itu belinya dengan patokan hanya US$40,9 per ton. Tapi yang dinikmati penambang nikel hanya US$20," jelasnya, Selasa (8/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menanggapi hal itu, Deputi Investasi dan Pertambangan Kemenko Marves Septian Hario Seto mengatakan sesuai dengan hukum supply dan demand, maka selisih harga tersebut wajar terjadi. Sebab, sejak Indonesia menetapkan kebijakan larangan ekspor, harga internasional memang naik.
"Bahwa jika supply menurun sementara demand tetap, maka akan ada kenaikan harga. Hal inilah yang terjadi pada saat Pemerintah melakukan pelarangan ekspor tahun 2020 sampai saat ini. Harga internasional naik karena supply bijih nikel dari Indonesia hilang," ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Sabtu (12/8).
Jadi, saat nikel dibeli dari Indonesia, harga yang ditetapkan pemerintah sudah sesuai dengan pasar. Namun, karena stok berkurang karena larangan ekspor Indonesia, maka memang ada kenaikan harga sehingga terlihat ada selisih besar.
Namun, jika kebijakan larangan ekspor Indonesia dihentikan, maka ia yakin harga internasional akan ikut turun, sehingga selisih harganya akan ikut menyempit.
"Jika ekspor bijih nikel Indonesia kembali dibuka, maka harga internasional pasti akan turun karena supply bertambah dari Indonesia, sehingga perbedaan antara harga nikel internasional dengan HPM (Harga Patokan Mineral) pasti akan lebih kecil," jelasnya.
Seto pun membeberkan harga ekspor bijih nikel sebelum larangan diberlakukan. Berdasarkan data yang ia peroleh selisih antara harga ekspor dengan harga HPM dengan grade 1,7 persen dan MC 35 persen hanyalah US$5,5 per ton pada 2018 dan US$6,9 per ton pada 2019.
"Selisih ini, berdasarkan temuan kami pada waktu itu, ada sebagian disebabkan karena kualitas bijih nikel yang diekspor melebihi 1,7 persen (batas maksimum kualitas ekspor saat itu)," pungkas Seto.