Ekonomi China sedang limbung. Perlambatan ekonomi China terus menjadi perhatian terutama setelah negara adidaya saingan Amerika Serikat ini memangkas suku bunga pinjaman untuk kedua kalinya selama 2023 pada Senin (21/8).
Bank Rakyat China (People's Bank of China/PBoC) memangkas suku bunga pinjaman satu tahun (LPR) demi mendongrak daya beli masyarakat di tengah pertumbuhan ekonomi China yang masih lesu saat ini.
Pertumbuhan ekonomi yang makin melambat ini membuat khawatir para pebisnis serta investor Negeri Ginseng bahkan asing. Sebab, perlambatan ekonomi China ini terjadi untuk pertama kalinya sejak beberapa dekade terakhir.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lihat Juga : |
Lalu apa tanda yang menunjukkan ekonomi China sedang sakit? Berikut 5 tandanya;
Pekan lalu, nilai yuan jatuh ke level terendah selama 16 tahun hingga mendorong PBoC sebagai bank sentral menetapkan rate yang lebih tinggi terhadap dolar daripada perkiraan nilai pasar.
Pada Kamis (17/8), kurs yuan merosot ke 90 basis poin menjadi 7,2076 dolar Amerika Serikat. Menurut Sistem Perdagangan Valuta Asing China, ini memperpanjang penurunan nilai yuan untuk hari kelima berturut-turut.
Pasar China juga dibuat khawatir setelah indeks pasar saham Hang Seng (HSI) Hong Kong sempat anjlok lebih dari 20 persen pada Januari lalu.
Setelah lonjakan aktivitas yang pesat usai pencabutan lockdown pandemi covid-19, pertumbuhan ekonomi China justru berhenti. Harga konsumen jatuh, krisis real estat semakin dalam dan volume ekspor juga merosot.
Pengangguran di kalangan pemuda juga semakin meningkat sampai-sampai pemerintah berhenti menerbitkan data soal ini.
Data terakhir dari Biro Statistik Nasional pada Juni lalu memaparkan tingkat pengangguran untuk kaum usia 16 hingga 24 tahun naik menjadi 20,8 persen pada Mei 2023, melonjak dari bulan sebelumnya. Tingkat pengangguran untuk orang-orang dari segala usia di perkotaan adalah 5,2 persen di bulan yang sama.
Kekhawatiran soal ekonomi China yang makin lesu bertambah usai raksasa properti China Evergrande resmi mengumumkan bangkrut pada akhir pekan kemarin setelah bergelut cukup lama dengan masalah keuangan.
Evergrande adalah salah satu pengembang real estat terbesar di China. Perusahaan ini adalah bagian dari Global 500 atau merupakan salah satu bisnis terbesar di dunia berdasarkan pendapatan.
Analis menyebut kebangkrutan perusahaan yang punya sekitar 200 ribu orang pekerja ini bisa menjadi peringatan bahwa krisis properti dan ekonomi di China sedang dimulai. Sebab, di tengah krisis yang menimpa Evergrande itu, tidak ada stimulus atau langkah berarti yang diambil China untuk menyelamatkan sektor properti mereka.
Nasib salah satu pengembang properti terbesar China, Country Garden, juga dikhawatirkan akan segera menyusul seperti Evergrande setelah perusahaan mengumumkan gagal bayar utang baru-baru ini.
Gagal bayar ini menyebabkan banyak proyek perumahan yang mangkrak tidak selesai dibangun, pemasok yang belum dibayar, dan merugikan kreditor yang bukan hanya lembaga keuangan tetapi juga orang-orang biasa yang membeli produk manajemen kekayaan yang terkait dengan pembiayaan.
Country Garden tercatat memiliki utang sebesar 1,4 triliun yuan (US$191,7 miliar). Jumlah ini hanya sekitar 59 persen dari total utang Evergrande yang mencapai US$330 miliar. Namun, Country Garden memiliki 3.121 proyek di seluruh provinsi di China, jauh lebih besar dibandingkan proyek Evergrande yang mencapai sekitar 800 proyek.
Kasus yang terjadi Country Garden ini semakin membuat waswas soal kesehatan sektor properti China lantaran pengembang tersebut selama ini dianggap sebagai perusahaan yang sehat secara finansial.
Tak hanya di sektor properti, kasus gagal bayar juga melanda perusahaan penyedia jasa finansial terbesar Zhongrong International Trust.
Awal bulan ini, perusahaan yang mengelola dana senilai US$87 miliar untuk klien korporat dan orang kaya ini telah gagal membayar serangkaian produk investasinya kepada setidaknya empat perusahaan dengan nilai mencapai US$19 juta.
"Kerugian lebih lanjut di sektor properti berisiko mengakibatkan ketidakstabilan keuangan yang lebih luas," kata Julian Evans-Pritchard, kepala ekonomi Tiongkok di Capital Economics seperti dikutip CNN.
"Dengan semakin banyaknya dana domestik yang mengalir ke obligasi pemerintah dan deposito bank, semakin banyak lembaga keuangan non-bank yang menghadapi masalah likuiditas," tambahnya.
Berlanjut ke halaman berikutnya >>>