Sementara Direktur Eksekutif Sinergi BUMN Institute Ahmad Yunus mengatakan merger ketiga maskapai tersebut merupakan pilihan terbaik untuk menyelamatkan sementara Garuda yang saat ini sedang kronis. Ia menjelaskan dengan merger, ketiga maskapai akan melebur dan membentuk entitas baru.
Saat merger, Achmad mengatakan Garuda Indonesia memang akan hilang. Tapi ia yakin yang menjadi pertimbangan untuk merger adalah terkait bisnis.
Pasalnya Garuda Indonesia merupakan perusahan terbuka yang pemilik sahamnya tidak hanya negara tetapi publik juga.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ada kepentingan investor yang dipertimbangkan. Sementara Garuda secara bisnis memang sudah sangat-sangat tidak bisa diselamatkan dengan cara-cara biasa," katanya.
Achmad mengatakan sebuah negara sebenarnya tidak harus memiliki maskapai penerbangan nasional (national flag carrier) seperti halnya Garuda Indonesia. Misalnya Amerika Serikat yang tidak memiliki maskapai penerbangan nasional dan industri penerbangannya sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme pasar.
"Karena bisnis ini memang risikonya tinggi, margin profit tidak besar cuma perputaran uangnya tinggi, transaksi menggunakan rupiah tetapi operasional menggunakan dolar AS," kata Achmad.
Saat ini, sambungnya, Garuda Indonesia tetap memilih sebagai maskapai dengan pasar kelas menengah ke atas. Kemudian statusnya sebagai maskapai penerbangan nasional, membuat perjalanan dinas aparatur sipil negara (ASN) diprioritaskan menggunakan Garuda Indonesia.
Dengan kondisi itu, Achmad menilai Garuda sebenarnya merupakan maskapai mahal. Sehingga ada tidaknya Garuda Indonesia nantinya tidak terlalu berdampak pada industri penerbangan karena yang mendominasi sekarang adalah maskapai Low-Cost Carrier (LCC) atau bertarif rendah.
"Kalau misinya ingin menyatukan nusantara dengan penerbangan, maka yang dibutuhkan rakyat adalah penerbangan perintis seperti LCC, bukan Garuda yang pasarnya kelas menengah ke atas," kata Achmad.
Sementara terkait Pelita Air, ia mengatakan saat ini masuk ke penerbangan reguler karena penugasan negara sebagai langkah preventif apabila Garuda Indonesia pailit. Secara bisnis, Achmad menilai Pelita Air sebenarnya tidak feasible dan susah bersaing di industri penerbangan yang penuh persaingan.
Ia menilai Pelita Air tidak akan bisa mengalahkan Garuda Indonesia dan Batik Air jika dipaksakan masuk ke pasar Full Service Airline (FSA). Sementara di pasar LCC, Pelita Air juga dinilai tidak bisa mengalahkan Citilink, Lion Air, dan Super Air Jet.
"Makanya paling masuk akal bila diafiliasikan dengan Garuda Indonesia Group agar mendapatkan market yang jelas," katanya.