Laporan IMF: Subsidi BBM 'Pemicu Polusi' Capai Rp106.624 T Pada 2022
Dana Moneter Internasional (IMF) menyebutkan total subsidi yang digelontorkan untuk bahan bakar polusi mencapai US$7 triliun atau Rp106.624 triliun (asumsi kurs Rp15.232 per dolar) sepanjang 2022. Nilai tersebut setara dengan 7,1 persen dari PDB pada tahun tersebut.
Nilai tersebut diperkirakan akan menurun dalam waktu dekat karena kebijakan dukungan harga energi diuraikan dan harga internasional turun.
Meski demikian, subsidi energi fosil diramal meningkat menjadi US$8,2 triliun pada 2030 seiring dengan meningkatnya konsumsi bahan bakar di pasar negara yang sedang berkembang (di mana perbedaan harga umumnya lebih besar).
Lihat Juga : |
Dalam laporannya yang dikutip Senin (4/9), IMF menyatakan subsidi BBM, yang bertujuan untuk menjaga harga BBM tetap rendah untuk melindungi konsumen, memiliki dampak besar pada berbagai aspek.
Kendati demikian, pemberian subsidi tersebut berdampak pada konsekuensi fiskal yang besar, seperti peningkatan pajak dan pinjaman atau pengurangan pengeluaran publik.
Selain itu, subsidi BBM mempromosikan alokasi sumber daya ekonomi yang tidak efisien yang menghambat pertumbuhan ekonomi. Dampak lingkungan juga menjadi perhatian serius, dengan subsidi BBM berkontribusi pada polusi udara lokal dan emisi gas rumah kaca yang berkontribusi pada perubahan iklim global.
Laporan tersebut menyatakan negara perlu menghapus subsidi BBM dan mengalihkan kepada pengeluaran sosial yang lebih tepat sasaran, pengurangan pajak yang tidak efisien, dan investasi produktif dapat mempromosikan hasil yang berkelanjutan dan adil.
Selain itu, langkah-langkah ini juga dapat mengurangi kekhawatiran terkait keamanan energi yang terkait dengan fluktuasi pasokan BBM yang tidak stabil.
IMF juga mengukur subsidi BBM dalam laporan ini dengan membedakannya menjadi subsidi eksplisit dan implisit.
Subsidi eksplisit terjadi ketika harga BBM di pasar lebih rendah daripada biaya pasokannya.
Beberapa negara telah berhasil menghapus subsidi eksplisit dan/atau mengurangi perlahan harga bahan bakar dan tindakan penentuan harga lainnya untuk menutupi biaya eksternal.
Contohnya, Skema Perdagangan Emisi Uni Eropa yang memaksa pembangkit listrik dan sumber industri untuk membayar emisi karbon dan memiliki harga yang sedikit di atas harga karbon yang sesuai dengan target pemanasan pada 2022.
Kemudian, India, Maroko, Arab Saudi, dan Ukraina yang telah menghapus subsidi eksplisit dan, dalam beberapa kasus, memperkenalkan pajak dan banyak negara yang mengenakan pajak penggunaan transportasi darat (lebih dari 160 di seluruh dunia).
Sementara subsidi implisit terkait dengan tidak mencakup biaya eksternal dalam harga eceran BBM.
Biaya eksternal termasuk dampak lingkungan, seperti emisi karbon dan polusi udara lokal, serta kerugian akibat kemacetan lalu lintas dan kecelakaan terkait dengan penggunaan BBM.
Menurut IMF, langkah-langkah reformasi yang efektif sangat penting untuk mengatasi dampak negatif dari subsidi BBM ini.
Beberapa negara telah berhasil menghapus subsidi eksplisit atau mengurangi perlahan harga BBM serta menerapkan langkah-langkah lain untuk menutupi biaya eksternal. Namun, banyak negara menghadapi tantangan dalam melaksanakan reformasi subsidi ini karena peningkatan harga BBM dapat memicu ketidakpuasan sosial.
IMF menyoroti perlunya komunikasi dan konsultasi yang transparan antara pemerintah dengan masyarakat yang lebih rentan terkait dampak kenaikan harga BBM.
Selain itu, lembaga tersebut juga mendorong reformasi institusi yang dapat meminimalisir politisasi penetapan harga energi, termasuk pengenalan mekanisme penetapan harga otomatis.
Laporan ini menunjukkan bahwa reformasi subsidi BBM adalah langkah kunci dalam mencapai pengurangan emisi karbon yang signifikan dan mengatasi dampak ekonomi negatif yang ditimbulkan oleh subsidi ini.
IMF juga mengingatkan bahwa kesadaran akan masalah ini semakin meningkat di seluruh dunia, dengan negara-negara sepakat untuk mempercepat upaya penghapusan subsidi BBM yang tidak efisien dalam pertemuan internasional.